Harukyuily

Anak kecil berbaju biru langit itu berdiri di dekat pohon Peach yang ada di depan taman bermain. Matanya menatap cemas ke arah jalanan komplek yang sepi di depannya. Rupanya ada seorang anak kecil yang sedang berusaha menaiki sepeda yang ukurannya jauh lebih besar dari tubuhnya, “Jeongwoo-ya, sudah hentikan. Sepeda itu punya June hyung, kau bisa jatuh nanti.”

Anak yang yang di panggil Jeongwoo itu menghiraukan teriakan temannya, tubuh kecilnya terus berusaha menjaga keseimbangan diatas sepeda dan mengayuh pedal sepeda itu dengan susah payah, “Sedikit.... Lagi.... Junkyu hyung...”.

Junkyu memasang raut wajah cemas, melihat temannya itu terlihat begitu kesusahaan menaiki sepeda milik hyungnya.

“Ayolah! Jika kau jatuh nanti June hyung akan marah padaku karena merusak sepedanya. Kau bisa belajar sepeda menggunakan sepedaku-”

“AAA!”

“JEONGWOO!”

Terlambat. Jeongwoo sudah jatuh lebih dulu dengan sepeda besar milik June yang menimpa tubuh kecil bocah itu. Junkyu segera berlari menghampiri Jeongwoo.

“Hehehe! Kau lihat tadi? Aku bisa mengayuh sepeda sekarang!” Jeongwoo tiba-tiba bangun terduduk dan tersenyum lebar. “

Junkyu hanya bisa terdiam linglung, ia hampir mengira teman sepermainannya itu mati. Karena sungguh, ia melihat Jeongwoo tak bergerak setelah jatuh dari sepeda.

“Berdarah..”

“Eh, apanya?”

Junkyu menunjuk ke arah tangan Jeongwoo. “Jeongwoo-ya, kau berdarah. “

“Oh..” Jeongwoo melihat sikutnya juga kedua lengannya. “Tapi tidak sakit kok! Junkyu hyung jangan menangis”.

Jeongwoo mencoba berdiri dan kembali tersenyum.” Lihat! Aku bisa berdiri sendiri! Sudah ya? Jangan menangis Junkyu hyung.”

Junkyu mengusap-usap hidung dan kedua matanya, lalu mendirikan sepeda milik June yang tergeletak diatas jalan, “Ayo pulang.”

Jeongwoo tersenyum lebar lalu menganggukkan kepalanya, “Iya, ayo pulang!”


“Hei! kau bisa masak tidak? Kau hanya membuat Mie instan tapi lama sekali!”

Terdengar suara jengah Junkyu dari ruang tengah. Junkyu duduk diatas sofa seraya menatap layar laptopnya.

Hari ini ia dan Jeongwoo memutuskan untuk belajar bersama, dan kebetulan orang tua Junkyu sedang tidak ada dirumah. Jadi Junkyu yang kelaparan ingin memesan makanan sebenarnya, tapi Jeongwoo bersikeras ingin membuatkannya Mie Instan saja. Lebih irit katanya.

“Sebentar lagi Junkyu, tinggal kumasukkan sayuran keringnya – Dimana kau menaruh guntingnya? Plastik ini sangat sulit untuk dibuka.”

Junkyu hanya mendengus pelan. Ia sudah menyelesaikan satu bab dan Jeongwoo belum juga selesai memasak makanan yang harusnya hanya butuh 5 menit.

Junkyu menatap Jeongwoo dengan tatapan jengah, membuat Jeongwoo seketika meringis.

“O-okay, aku akan pakai pisau saja.”

Belum genap lima detik Junkyu memalingkan wajahnya terdengar jeritan menggelegar milik Jeongwoo dari arah dapur. Dengan cepat Junkyu bangkit berdiri dan berlari ke arah Jeongwoo.

“Hehe.. tadi tanganku tergelincir jadi jariku tergores kecil.” Ucap Jeongwoo dengan cengiran andalannya. Bohong. Tiga jarinya berdarah-darah seperti adegan pembunuhan.

Junkyu memijat kepalanya pening, “Hentikan dan obati lukamu. Aku akan pesan makanan saja.”

“Ey, hyung! Tanganku tidak apa-apa! Tidak sakit sama sekali! Ayolah, Mie-nya sebentar lagi juga selesai!”

Junkyu mengibaskan tangannya pelan, menghiraukan perkataan Jeongwoo dan mengambil ponselnya yang ada di saku bajunya, “Halo? Dengan Restoran janda Galak? Ya, aku pesan Jjampong satu dan-” Junkyu melirik Jeongwoo, “Kau mau Jjajang atau Jjampong?”

“Jjampong-EY! Tidak tidak! Lalu siapa yang memakan Mie ini?”

” Jjampong 2 porsi. Iya. Tunai pas. Terimakasi.” Junkyu memutuskan panggilannya.

“Ya Junkyu!”

“Apa aku harus menelpon 911 juga?”

“Yak! Sudah kubilang ini tidak sakit sama sekali!”

“Kalau begitu jangan berteriak kepalaku pusing!”


Jeongwoo berlari dari ruang klub basket ke ruang klub musik dengan tergesa-gesa. Baru saja temannya Junghwan memberitahu sesuatu tentang Junkyu. Entah apa beritanya yang jelas sekarang Jeongwoo seperti kesetanan mencari Junkyu ke seluruh penjuru sekolah.

“Junkyu!!! Kim Junkyu!!!.”

Akhirnya Jeongwoo menemukan Junkyu yang sedang berkutat dengan laptopnya dan kedua telinga yang tersumpal earphone wireless. Jeongwoo segera memutar Junkyu yang duduk diatas kursi beroda hingga menghadap ke arahnya. Dilepasnya juga earphone yang ada di telinga Junkyu.

“YAK! Kau ini kenapa sih?” Jelas saja kalau Junkyu kaget, apalagi ditambah dengan wajah Jeongwoo yang berkeringat dan menatapnya dengan ekspresi entah marah atau bingung Junkyu juga tidak tahu.

“Kau ..haah.. haah.. dengan Haruto, itu benar?”

“Kau bicara apa? Yang jelas kalau bertanya!”

“Kau jadian dengan Haruto si kapten Sepak Bola itu? Kemarin? Setelah pulang sekolah?”

“Kupikir iya.. semacam itu.” Jawab Junkyu masih dengan muka stoic-nya yang tenang.

Belum sempat otak Jeongwoo mencerna maksud kata-kata dari Junkyu, terdengar suara pintu yang terbuka. Terlebih lagi suara seseorang yang membuat keduanya kompak menatap ke arah pintu klub musik.

“Junkyu, apa kau sudah selesai? Hari ini aku tidak ada latihan. Mau pulang bersama?” Ternyata itu Haruto dengan kepala plus wajah tampannya yang menyembul dari balik pintu.

“Boleh. Tunggu sebentar.” Dengan cepat Junkyu menutup laptopnya dan mengambil earphonenya dari tangan Jeongwoo.

“Permisi Jeongwoo, Aku mau pulang duluan.” Ucap Junkyu sambil menatap Jeongwoo.

Jeongwoo mengepalkan tangannya erat sebelum memundurkan sedikit badannya, mempersilahkan Junkyu untuk mengambil laptop, earphone dan pergi meninggalkan Jeongwoo yang tertunduk dengan pintu klub yang tertutup.

“Aneh... Rasanya sakit, tapi tidak berdarah..”

/Fin/

Sesaat setelah pintu kamar asrama tertutup, Jihoon segera menghempaskan cekalan tangannya pada Junkyu.

Junkyu sedikit terhuyung kebelakang, lalu tubuhnya terlonjak kaget saat mendengar suara tawa Jihoon.

Jihoon tertawa dengan keras seraya berkacak pinggang, membuat Junkyu yang melihatnya merasa sedikit takut. Apa penyakit tidak waras Jihoon kumat lagi? Jika iya, itu berarti dirinya harus pergi dari sini.

Dengan langkah pelan, Junkyu berjalan menuju pintu. Dan saat ia akan membuka pintu, Jihoon sudah lebih dulu mencekal tangannya, “Kau mau kemana?”

Junkyu menegguk ludahnya kasar, tubuhnya seketika bergidik saat mendengar suara Jihoon.

Jihoon kembali tertawa, “Benar-benar konyol!”

Junkyu menatap Jihoon yang sedang tertawa dengan pandangan horor. Jujur dirinya sangat takut sekarang.

Melihat ekspresi wajah Junkyu, Jihoon seketika menghentikan tawanya. Lelaki Park itu secara perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Junkyu, “Aku tidak menyangka kau benar-benar menuruti perkataanku.”

Junkyu mengatupkan bibirnya rapat, demi apapun dirinya benar-benar merasa takut.

“Aku kira kau cukup keras kepala melihat bagaimana gilanya dirimu berlatih basket. Ternyata dugaanku salah.” Tangan Jihoon yang semula mencekal tangannya secara perlahan merambat naik menyentuh rahang Junkyu.

Jihoon tersenyum sini seraya mengusap perlahan rahang Junkyu, “Aku tak habis pikir, selain tubuhmu yang seperti perempuan, ternyata mentalmu juga lemah. Persis seperti perempuan.”

Mendengar perkataan Jihoon, tanpa Junkyu sadari air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Lihat? Ekspresi sedihmu ini.” Jihoon mengelus lembut pipi kanan Junkyu seraya menatap Junkyu tajam. “Persis seperti ekspresi seorang jalang.”

Plakk!

Jihoon melebarkan matanya terkejut saat Junkyu secara tiba-tiba menampar wajahnya dengan kuat.

“Kau!–”

“S-sebenarnya apa masalahmu?” Potong Junkyu, “Sebenarnya apa salahku padamu hingga kau melakukan hal seperti ini kepadaku??! Apa yang sudah aku perbuat hingga aku pantas di perlakukan seperti ini?!”

Tubuh Junkyu gemetar, air mata yang ia tahan mati-matian kini berjatuhan begitu saja.

Bukannya menjawab, Jihoon malah mendorong Junkyu kebelakang kemudian mengkungkungnya, “Apa butuh alasan untuk membenci seseorang?” Suara Jihoon terdengar begitu tajam.

Jihoon mengangkat dagu Junkyu keatas, “Aku hanya suka melihatmu menangis.”

Junkyu menepis tangan Jihoon, “Bajingan gila.” Desis Junkyu marah.

Jihoon tersenyum miring, “Ya, aku memang bajingan gila. Apa kau tidak penasaran hal gila apa lagi yang bisa aku lakukan?”

Junkyu mengkerut takut saat Jihoon tiba-tiba saja mendorong tubuhnya hingga terlentang di atas lantai.

Junkyu menahan nafasnya saat tangan Jihoon tiba-tiba saja sudah mendarat di atas pahanya.

“K-kau!..” suara Junkyu bergetar ketakutan.

Jihoon seakan menuli, tangan lelaki itu semakin bergerak kurang ajar,  tangannya mengelus dan sedikit meremas paha Junkyu dengan pelan. Membuat Junkyu bergerak tidak nyaman.

“A-apa yang kau lakukan!” Junkyu menyentak tangan Jihoon yang berada di atas pahanya dengan keras.

“Kenapa?  Bukannya jalang sepertimu suka jika diperlakukan seperti ini?” Jihoon tersenyum sinis dan langsung mengkungkung tubuh Junkuu.

“K-kau!” Junkyu berusaha mendorong tubuh Jihoon yang berada diatasnya dengan sekuat tenaga.

“Kenapa kau jual mahal seperti itu?” Jihoon mendekatkan wajahnya kepada wajah Junkyu, “Aku rasa kau sudah sering melakukan hal yang lebih panas dengan laki-laki lain di luar sana. Iya kan?”

Junkyu melebarkan matanya saat mendengar perkataan Jihoon yang terdengar sangat merendahkannya itu. Ia kembali berusaha mendorong tubuh Jihoon, tapi Jihoon malah mencekal kedua tangannya.

“Lepaskan!” Junkyu kembali meronta,  berusaha melepaskan diri dari cekalan Jihoon.

“Bagaimana jika aku tidak mau?” Jihoon menampilkan seringaiannya.

“Brengsek!  Bajing- hmmp! “

Junkyu membelalakan matanya saat bibirnya dibungkam dengan lancang oleh bibir Jihoon.

Jantung Junkyu terasa akan meledak saat merasa bibir Jihoon mulai menghisap dan melumat bibirnya.

Jihoon melepasakan tautan bibirnya lalu menatap Junkyu dengan pandangan marah,  “Kenapa kau pasif begitu?!”

Junkyu gemetar ketakutan. Ini salah,  Jihoon kembali melecehkannya,  ini tidak benar.

“L-lepasakan aku!”

Jihoon tertawa sinis melihat Junkyu yang masih saja berontak. Padahal dirinya yakin Junkyu hanya jual mahal saja. Karena Junkyu adalah seorang lelaki yang merebut kebahagiaan sahabatnya.

“Bukankah lelaki sepertimu suka jika disentuh oleh laki-laki ?” Jihoon mengamit dagu Junkyu supaya Junkyu mendongak menatapnya,  “Jadi nikmati saja. Aku berbaik hati padamu. “

Junkyu semakin panik dan meronta saat Jihoon mulai membuka satu persatu kancing kemejanya dengan paksa.

“Ji-jihoon!” Suara Junkyu terdengar semakin panik.

Jihoon kembali menyambar bibir merah Junkyu dan melumatnya paksa. Tangannya menyelusup masuk ke dalam seragam Junkyu.

Junkyu menutup matanya dengan erat,  karena ia sesungguhnya tidak kuat harus menatap Jihoon dalam sedekat ini.

Jihoon menarik tubuh Junkyu dengan sebelah tangannya agar semakin menempel padanya.

Jihoon benar-benar menguasai bibirnya dikala ia tidak melawan sama sekali. Tenaganya sudah habis sedari tadi berontak untuk melepaskan diri,  dan cekalan tangan Jihoon tidaklah main-main sakitnya.

“Eughhh... ” Junkyu melepaskan desahan pertamanya saat merasakan tangan Jihoon meraba kasar dadanya.

Junkyu benar-benar tidak menyangka Jihoon akan melakukan hal seperti ini padanya untuk kedua kalinya.

Jihoon melepaskan tautannya pada bibir Junkyu lalu beralih menyerang leher dan pundak terbuka Junkyu. Menggigit,  menghisap,  dan menjilatnya. Jihoon sudah hilang akal.

“K-kumohon...  Eughh..  L-lepaskan -akuu... “  air mata Junkyu mengalir semakin deras  kala Jihoon terus menjamah tubuhnya.

Jihoon mengangkat wajahnya merasa terganggu,  dan saat ia melihat wajah Junkyu,  seketika dirinya merasa terkejut. Seakan akal sehatnya yang pergi entah kemana mendadak kembali

“K-kumohon.... hiks...  l-lepaskan a-aku..”

Jihoon terdiam,  ia segera menyingkir dari atas tubuh Junkyu. Terkejut dengan kelakuannya sendiri. Apa dirinya sudah gila.

Jihoon bangkit berdiri, matanya menatap ke arah Junkyu yang terbaring tak berdaya dilantai. Ia merasa seperti dejavu.

Isakan Junkyu semakin keras, lelaki manis itu menangis seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Kau merusak moodku.” Ucap Jihoon datar. Lalu sedetik kemdian dapat Junkyu dengar langkah kaki Jihoon yang menjauh dan suara pintu asrama yang terbuka. Jihoon pergi.

Junkyu bangkit terduduk, dadanya sangat sesak. Ia kembali menangis dengan keras. Dirinya tidak bermaksud untuk cengeng, tapi hatinya benar-benar sakit. Dirinya tidak berdaya dan Junkyu benci itu.

Junkyu hanya ingin tahu apa salahnya, dan kenapa ia selalu berakhir seperti ini. Dilecehkan dan ditinggal pergi begitu saja.

Junkyu benci pada Jihoon, Junkyu benci pada dirinya sendiri.

Jihoon berjalan menuju lapangan basket dengan wajah datar. Perasaannya masih terasa terganggu dengan kehadiran Haruto yang sangat tiba-tiba seperti itu.

“Jihoon!” Jihoon seketika menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepalanya kebelakang. Senyuman tipis seketika langsung terlukis di wajah dinginnya saat melihat Lia, sahabatnya sedang berlari kecil kearahnya.

“Hah! Hah!” Lia mengatur nafasnya saat sudah berada di samping Jihoon.

Jihoon mengusap keringat yang berada di kening gadis itu, “Kenapa kau berlari sampai seperti itu?”

Lia menggeleng pelan lalu menatap lurus ke wajah Jihoon, “Haruto kembali.” Ucap Lia dengan senyuman lebar.

Gerakan tangan Jihoon terhenti, senyum tipis yang ada bibirnya menghilang seketika, “Darimana kau tahu? Kau... Bertemu dengannya?”

Lia menghela napas singkat, “Aku melihatnya tadi pagi.”

Jihoon menaikkan sebelah alisnya, “Dimana?”

“Di dekat toko roti langgananku. Aku melihat dia tengah mengobrol dengan Junkyu. Hmm aku tidak tahu kalau dia juga mengenal Junkyu.” Gumam Lia.

Jihoon seketika langsung melebarkan matanya mendengar perkataan Lia. Apa katanya tadi? Junkyu dan Haruto? Jadi ucapan Haruto tadi pagi bukanlah omong kosong semata?

Lia yang melihat perubahan ekspresi di wajah Jihoon mengerutkan keningnya bingung, “Eh? Kau tak tahu jika Junkyu dan Haruto saling mengenal?”

Jihoong mengepalkan tangannya erat. Haruto... Manusia sialan satu itu memang benar-benar berniat mencari perkara dengannya.

“Maaf Lia, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang.”

Lia semakin memasang ekspresi bingung, “Kau mau kemana?”

Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Jihoon langsung berjalan pergi.

Jihoon melangkahkan kakinya dengan cepat menuju sebuah cafe, yang Jihoon ketahui adalah tempat Junkyu bekerja paruh waktu.

Jihoon berdiri di depan pintu cafe, melalu jendela kaca yang tembus pandang, Jihoon dapat melihat dengan jelas apa yang sedang Junkyu lakukan.

Lelaki itu.. dengan senyuman cerah se-cerah matahari sedang melayani pelanggan cafe. Jihoon menatap Junkyu lurus, dirinya benar-benar membenci lelaki itu. Melihatnya tersenyum dengan begitu ringan tanpa beban membuat dirinya merasa marah.

Seorang lelaki yang merusak kebahagian sahabatnya, harus dirinya sendirilah yang menghancurkan lelaki itu sampai berkeping-keping.

Dan Jihoon benar-benar tidak suka jika Haruto merusak semua rencananya. Hanya dirinya yang boleh menggenggam erat Junkyu sampai hancur.


“Terimakasih, datang kembali!” Junkyu menundukkan tubuhnya dan tersenyum cerah kearah pelanngan yang baru saja meninggalkan cafe.

Beruntung sekali hari ini keadaan cafe cukup ramai. Sehingga Junkyu selamat dari amukan Gon karena datang terlambat.

Junkyu hendak berbalik menuju counter, tapi tiba-tiba terdengar suara lonceng yang berada di meja cafe, tanda jika ada pelanggan yang hendak memesan.

Ekspresi Junkyu yang awalnya cerah berubah menjadi horor. Bagaimana tidak? Sekarang di hadapannya ada seorang Park Jihoon yang tengah duduk manis seraya membaca buku menu.

Junkyu tanpa sadar memundurkan langkahnya, perasaan ngeri tiba-tiba kembali memenuhi dadanya.

Jihoon mengangkat wajahnya lalu menatap Junkyu dengan senyuman miring, “Aku mau memesan.”

Junkyu merasa nafasnya terkecat untuk beberapa detik saat mendenger suara Jihoon. Apa yang lelaki itu lakukan di tempat kerjanya? Bukannya sudah cukup dia menganggunya di sekolah?

“Kau tidak mau mencatat pesananku?”

Junkyu menengguk ludahnya kasar, dengan perlahan dirinya berjalan mendekati meja Jihoon.

“K-kau ingin pesan apa?” Tanya Junkyu takut.

Jihoon tersenyum tipis. Di dalam hatinya ia berteriak kegirangan melihat Junkyu yang ternyata masih sangat takut padanya. Membuat dirinya semakin ingin menghancurkan lelaki perebut pacar orang itu secepat mungkin.

“Hmm entahlah..” Jihoon bertopang dagu seraya menatap Junkyu tajam, “-kau mungkin.” Lanjutnya.

Junkyu melebarkan matanya. Apa maksud lelaki jahat satu itu? Memesan dirinya begitu?

“Maaf? Kau ingin memesan apa?” Tanya Junkyu ulang.

“Kau. Aku ingin memesan kau.” Balas Jihoon seraya tersenyum miring. Yang terlihat begitu menakutkan di mata Junkyu.

Seketika ingatan Jihoon yang mencium dan menyentuh tubuhnya kembali terlintas di dalam kepalanya, “Kau gila?!” Seru Junkyu tertahan seraya menutup dadanya dengan kedua tangan.

Jihoon tertawa, “Bercanda. “

Junkyu seketika memasang wajah kesal, membut Jihoon yang melihatnya semakin merasa puas.

“Aku ingin pesan ini, dan ini.” Ucap Jihoon seraya menunjuk minuman dan makanan yang ingin lelaki itu pesan di buku menu.

Junkyu segera mencatat pesanan Jihoon dan langsung berbalik pergi.

“Oh, bukannya itu Park Jihoon?” Tanya Hyunsuk kepada Junkyu yang sedari tadi melihat interaksi keduanya dari jauh.

“Ya.” Balas Junkyu singkat, “Ini pesanan Jihoon, shiftku sudah selesai.” Junkyu menyerahkan note yang berisi pesanan Jihoon lalu segera pergi untuk berganti pakaian.

“Kau mau kemana setelah ini? Hari ini hari minggu, kau mau main?” Tanya Hyunsuk sesaat setelah Junkyu keluar setelah selesai berganti pakaian.

“Aku mau ke asrama Asahi.” Balas Junkyu, “Aku pergi dulu ya hyung.”

“Oke. Hati-hati.”

Sebelum pergi Junkyu melirik kearah meja Jihoon, terlihat lelaki itu sedang asik memainkan ponselnya. Junkyu mencibir dalam hati, nasib baik shift nya selesai sekarang.

“Ini pesananmu.” Hyunsuk meletakkan makanan dan minuman di atas meja Jihoon.

Jihoon menaikkan sebelah alisnya, “Kau? Mana Junkyu?”

Hyunsuk sedikit mengkerutkan keningnya. Kenapa Jihoon bertanya tentang Junkyu, “Junkyu shiftnya sudah selesai. Jadi dia sudah pulang.”

“Ahh..”

Hyunsuk menyipitkan matanya curiga, yakin jika diantara Junkyu dan Jihoon tidak ada apa-apa? Tiba-tiba ia teringat sewaktu Junkyu bertanya perihal Park Jihoon padanya tempo hari.

“Apa kau menyukai Junkyu?”

Jihoon sedikit tersentak mendengar pertanyaan Hyunsuk. Tapi sedetik kemudian raut wajah terkejutnya berubah menjadi seringaian, “Mungkin.” Balas Jihoon seraya tersenyum.

Hyunsuk membekap mulutnya sendiri takjub. “Kau serius?!”

Jihoon hanya tertawa kecil membuat Hyunsuk semakin heboh. Kan! Sudah Hyunsuk duga, Junkyu itu terlalu manis untuk ukuran seorang lelaki. Dirinya yakin jika selama ini tidak ada wanita yang mau menjadikan Junkyu pacar karena wajah manisnya. Dan dirinya juga yakin pasti setidaknya ada beberapa lelaki yang menaruh hati pada Junkyu.

Tiba-tiba sebuah ide brilliant terlintas di benak Hyunsuk, “Hey, kau mau kubantu agar lebih dekat dengan Junkyu?” Ucap Hyunsuk tiba-tiba.

Jihoon mengangkat wajahnya lalu menatap balik ke arah Hyunsuk yang kini tengah menatapnya juga.

“Ide bagus.” Balas Jihoon seraya tersenyum. Benar-benar ide yang bagus untuk semakin cepat menghancurkan Kim Junkyu.


Junkyu berjalan menuju kamar asramanya seraya meremat ujung jaketnya dengan gelisah. Sekarang sudah pukul 7 malam, apa Jihoon juga sudah pulang ke asrama? Tapi menjelang turnamen seperti sekarang biasanya tim basket akan latihan setiap hari dan selesai setidaknya jam 8 malam.

“Oh..?” Junkyu menghentikan langkahnya setika. Pasalnya di depan pintu asramanya berdiri seseorang yang amat ia kenal.

“Jeno?”

Mendengar namanya dipanggil, Jeno menolehkan wajanya. Ekspresinya yang semula tampak muram dan gelisah seketika langsung berubah menjadi tenang dan terlihat lega.

Junkyu berjalan menghampiri Jeno dengan ekspresi wajah bingung. Bukannya tim basket ada latihan, lalu apa yang dilakukan sang kapten di depan pintu asramanya??

“Kenapa kau ada disini?” Tanya Junkyu.

Bukannya menjawab, Jeno malah menarik tangan Junkyu, dan dengan sekali gerakan, Jeno berhasil merengkuh tubuh Junkyu ke dalam pelukannya.

Junkyu membulatkan matanya terkejut, tubuhnya seketika mengkaku, “J-jen? Kau tidak apa-apa?” Tanya Junkyu panik. Tangannya tergantung canggung di udara, jujur dirinya bingung antara membalas pelukannya Jeno, atau mendorong lelaki itu agar menyingkir dari tubuhnya.

“Maafkan aku.” Gumam Jeno pelan.

“Huh?” Junkyu menaikkan sebelah alisnya bingung mendengar perkataan Jeno yang tiba-tiba seperti itu.

“Jika aku ada salah padamu, aku benar-benar minta maaf.” Suara Jeno terdengar sangat putus asa, membuat pikiran Junkyu semakin bingung dan tidak mengerti.

“Hei, kau serius tidak kenapa-kenapa? Kenapa kau tiba-tiba minta maaf seperti itu?” Tukas Junkyu seraya menepuk-nepuk pelan punggung Jeno.

“Kumohon jangan berhenti bermain basket.”

Gerakan tangan Junkyu terhenti seketika. Ia segera mendorong tubuh Jeno lalu memundurkan tubuhnya.

“Junkyu..” Jeno hendak meraih tangan Junkyu lagi, namun dengan cepat Junkyu menepisnya.

“Aku tidak akan bermain basket lagi.” Gumam Junkyu pelan.

“Tapi kenapa?!” Sentak Jeno keras. “Tapi kenapa? Apa alasanya?”

Junkyu mengusap wajahnya kasar, “Bukannya sudah ku katakan padamu? Aku tidak berbakat dalam basket, aku tidak bisa bermain basket! Dan aku sudah muak!”

Jeno menggelengkan kepalanya pelan, “Kau berbohong Kim Junkyu.”

Junkyu menggigit bibirnya keras, perasaannya kian terasa tidak karuan.

Jeno melangkah maju lalu mengcengkram kedua lengan Junkyu, “Kau lupa? Kau bilang padaku jika basket adalah hidupmu, dan kini kau bilang kau sudah muak pada basket?! Apa kau pikir itu masuk akal! Katakan padaku alasan sebenarnya Kim Junkyu!”

Junkyu menundukkan wajahnya, “Bisakah kau mempercaiku sekali ini saja?” Lirih Junkyu pelan.

Wajah Jeno semakin menggelap, “Aku selalu percaya padamu Kim Junkyu.” Ucapnya pelan.

Junkyu mengangkat wajahnya, menatap balik ke arah Jeno yang kini juga tengah menatap kearahnya dengan tajam. “Jika kau percaya padaku, bisakah kau hentikan semua ini? Aku memutuskan berhenti bermain basket.”

“Tapi-”

“Itu keputusannya, bukannya kau seharusnya menghormati keputusannya itu? Kapten.”

Junkyu dan Jeno terlonjak kaget saat mendengar seseorang menyela pembicaraan mereka. Refleks mereka berdua menolehkan kepalanya kearah sumber suara.

“Jihoon?” Jeno menatap kearah Jihoon yang kini tengah bersandar pada sebuah tiang sambil besedekap dada tak jauh dari tempatnya berdiri.

Junkyu membulatkan matanya terkejut. Jihoon?! Apa yang lelaki itu lakukan disana? Sejak kapan dia berdiri disana? Apa dia mendengar semua percakapannya dengan Jeno?!

Jihoon berjalan mendekati Jeno dan Junkyu. Lalu dengan cepat menarik tubuh Junkyu yang masih dicekal oleh Jeno kearahnya. “Anak ini tidak ingin bermain basket lagi. Bukannya kau harus menghormati keputusannya? Kenapa kau terlihat begitu tidak terima?”

Jihoon tersenyum miring melihat tangan Jeno yang terkepal dengan erat, “Aku tahu rumor jika kapten sangat mengistimewakan Junkyu, tapi aku tidak menyangka jika kapten sampai bolos latihan demi membujuk Kim Junkyu yang ingin berhenti bermain basket agar kembali. Bukannya hal itu sedikit berlebihan?”

Junkyu seketika menolehkan kepalanya kearah Jihoon yang berdiri disebelahnya dan membulatkan matanya terkejut. Ini kali pertamanya mendengar rumor seperti itu!

“Aku yakin sekarang belum saatnya pemain inti selesai latihan.” Ucap Jeno seraya menatap ke arah Jihoon tajam.

Jihoon tertawa kecil, “Rasanya aneh untuk latihan tanpa kapten disana. Jadi aku memutuskan untuk pulang ke asrama.”

“Kau bilang pulang ke asrama lalu apa yang kau lakukan disini?”

Jihoon tertawa keras lalu menarik Junkyu ke dalam rangkulannya, “Tentu saja pulang. Ini kamar asramaku.” Balas Jihoon seraya menunjuk pintu kamar asrama miliknya dengan Junkyu.

Jeno melebarkan matanya, “Kau.. roomate Junkyu?”

“Yup! Ya Kim Junkyu, katakan sesuatu.”

Junkyu tersentak kaget, lalu dengan cepat menganggukan kepalanya, “O-oh iya! Kami satu kamar.

Jihoon tersenyum, “Kalau begitu kami permisi.” Jihoon segera menarik tangan Junkyu untuk masuk ke dalam kamar asrama. Meninggalkan Jeno sendirian.

Junkyu hanya bisa mengigit kukunya gelisah seraya menatap ke arah Jihoon yang kini tengah berjalan mengamati kamar asramanya.

Junkyu benar-benar tidak habis pikir, dari seluruh mahasiswa yang ada di universitas ini, kenapa Jihoon lah yang harus menjadi teman sekamarnya?!

“Jadi, aku harus tinggal di tempat seperti ini?” Jihoon meletakkan tasnya di lantai lalu duduk di kursi meja belajar Junkyu, “Denganmu?” Lanjut lelaki itu dengan nada meremehkan.

Junkyu langsung melotot kesal merasa tersinggung dengan perkataan Jihoon yang seolah-olah keberatan dengan kebaradaannya di kamar asrama ini. Memangnya dia pikir Junkyu mau satu kamar dengan seorang mesum seperti Jihoon?!

Sudah membenci tanpa sebab, bisanya hanya mengucapkan kata-kata jahat, dia jadi manusia juga tidak ada bagus-bagusnya sama sekali, harusnya Junkyu yang keberatan!

Jihoon tertawa sinis melihat eskpresi Junkyu yang seperti mendumal sendiri di dalam kepalanya, “Kau pasti sedang menyumpahiku di dalam kepalamu itu.”

Junkyu tersentak mendengar perkataan Jihoon, refleks ia langsung menggeleng, “Ti-tidak!” Sergah Junkyu cepat. Walaupun Junkyu kesal setengah mati, dan ingin setidaknya melayangkan satu pukulan di wajah menyebalkan Jihoon, Junkyu sebenarnya juga sangat takut.

Junkyu takut Jihoon melakukan macam-macam padanya.

“Jika kau tak suka satu kamar denganku, kau bisa minta kepala asrama untuk pindah kamar.” Ucap Junkyu sambil menatap ke arah lain.

Jihoon menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi lalu bersedekap dada, “Tidak mau.” Jihoon menatap Junkyu dengan tajam, membuat yang ditatap merasa gelisah seketika.

“La-lalu maumu apa?! Aku yang pindah begitu?!” Sentak Junkyu kesal, wajahnya mulai memerah karena sungguh, berbicara dengan Park Jihoon benar-benar mengaduk emosinya.

Jihoon tertawa lalu memiringkan kepalanya, “Sepertinya ide yang bagus.”

Junkyu mengepalkan tangannya erat lalu berbaring ke atas ranjangnya dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Berbicara dengan Park Jihoon benar-benar sangat melelahkan dan membuat darah tinggi.

“Ya! Aku tidur di ranjang bawah, kau diatas!” Ucap Jihoon.

“Aku dari dulu sudah tidur di bawah! Kau pendatang baru tidur di atas!” Balas Junkyu dari dalam selimutnya. Rasa takut Junkyu pada Jihoon perlahan-lahan menghilang dan berubah menjadi rasa kesal.

Jihoon berdecak tidak percaya lalu segera berjalan kearah Junkyu.

“Aku tidur dibawah.” Jihoon menendang-nendang pelan tubuh Junkyu dengan kakinya, tapi Junkyu tidak bergeming sama sekali.

“Ya! Kim Junkyu!”

Melihat masih tak ada respon, Jihoon mendengus keras lalu tiba-tiba membaringkan tubuhnya disebelah Junkyu. Refleks, Junkyu segera menyibak selimutnya dan bangkit terduduk, “KENAPA KAU BERBARING DISINI???!” pekik Junkyu keras.

Jihoon memasang raut wajah tak suka mendengar pekikan Junkyu. Jihoon menatap Junkyu tajam, membuat Junkyu langsung mengkerut takut.

“Terserahlah!” Junkyu kembali berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Tak lupa menyelipkan boneka hiu diantara tubuh mereka sebagai pembatas.

“Kau tahu ranjang ini sempit? Singkirkan hiu ini!” Protes Jihoon kesal.

Junkyu membalik tubuhnya memunggungi Jihoon, “Untuk berjaga-jaga.”

Seakan mengerti maksud dari Junkyu, Jihoon lamgsung tertawa sinis, “Aku tidak nafsu padamu. “

Junkyu yang mendengar perkataan Jihoon hanya mendecakkan lidahnya pelan,  “Tidak nafsu?  Katakan itu pada orang yang hampir saja memperkosaku!” Balas Junkyu dari balik selimutnya.

Jihoon langsung menolehkan kepalanya cepat kearah Junkyu,  “Kau menyindirku?!”

Junkyu menyembulkan sedikit kepalanya dari selimut lalu balik menatap kesal ke arah Jihoon,  “Iya!  Aku menyindirmu!  Kenapa?!  Tak suka?!”

Jihoon terkejut bukan main melihat Junkyu yang tiba-tiba saja berubah menjadi sangat berani kepadanya.

Jihoon membuang boneka hiu yang digunakan untuk pembatas mereka asal, lalu merangkak naik mengkungkung tubuh Junkyu.

“Kau berani padaku sekarang ya?”

Mata Junkyu melebar saat melihat Jihoon berada di atasnya dan menatapnya tajam. Tangannya semakin erat mencengkram selimut yang masih menutup tubuhnya sampai sebatas leher.

Jihoon menyeringai tipis melihat Junkyu yang terlihat mulai ketakutan,  ia menurunkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Junkyu hingga kening dan hidung mereka bersentuhan.

“Karena kau sudah berani padaku,  maka kau harus di hukum, Kim Junkyu.”

Mata Junkyu membulat sempurna saat mendengar apa yang baru saja Jihoon katakan.

“A-apa maksudmu?!” Pekik Junkyu marah,  refleks dirinya langsung mendorong tubuh Jihoon agar menyingkir dari atas tubuhnya.

Jihoon menyunggingkan senyum sinis lalu menundukkan kepalanya,  “Semakin berontak, maka hukumanmu semakin berat. ” bisik Jihoon.

Junkyu semakin merasa terancam,  firasatnya mengatakan bahwa Jihoon akan berbuat hal buruk kepadanya. Tiba-tiba ingatan tentang kejadian di lapangan basket terputar lagi di kepala Junkyu, membuat tubuh lelaki manis itu gemetar ketakutan.

“Ji-jihoon!”

Jihoon menelusupkan wajahnya kedalam ceruk leher Junkyu, “Diam dan nikmati saja. “

Tubuh Junkyu menegang saat merasa sebelah tangan Jihoon menarik selimut yang menutupi tubuhnya dengan kasar, lalu melemparkannya asal ke lantai.

“Hen-hentikan!”

Jihoon mengabaikan pekikan protes dari Junkyu,  ia terus menjilat, menghisap dan menggigiti leher lelaki manis itu hingga meninggalkan beberapa jejak merah keunguan disana.

“Ughh..! “

Junkyu membekap mulutnya sendiri menahan desahannya. Kepalanya terasa pening seketika saat merasakan panas yang membakar didalam tubuhnya akibat sentuhan yang Jihoon berikan.

Jihoon mengangkat kepalanya, untuk sesaat ia menatap Junkyu yang berbaring dibawahnya. Wajah merah penuh keringat,  mata sayu,  dan bibir merekah yang sedikit terbuka, “Benar kataku, kau seperti perempuan.”

Jihoon menyingkir dari atas tubuh Junkyu lalu naik ke ranjang atas. Jihoon menyembulkan kepalanya dari ranjang atas lalu menatap Junkyu yang tampak begitu syok, “Tidurlah.”

Junkyu membulatkan matanya lalu memasang ekspresi marah, “KAU!–”

“Diam.” Potong Jihoon, “Atau aku akan turun kebawah lagi.”

Junkyu langsung mengatupkan mulutnya rapat mendengar ancaman dari Jihoon. Dengan segera, lelaki manis itu mengambil kembali selimutnya yang tadi dibuang Jihoon ke lantai lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut itu.

Jihoon tersenyum tipis melihat kelakuan Junkyu, ia menarik tubuhnya terlentang di atas ranjang lalu kemudian mengusap wajahnya kasar. Park Jihoon, kenapa kau melakukan itu lagi?! Batin Jihoon tidak habis pikir.

Jihoon membuang napas kasar lalu memejamkan matanya kasar, persetan dengan semuanya. Kim Junkyu, lihat dan tunggu saja, dirinya pasti akan membuatmu sangat menderita untuk ke depannya.

.

.

.

Junkyu melangkahkan kakinya gontai menuju cafe milik Gon, tempatnya bekerja paruh waktu. Ia melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya. Ini masih pukul 7 pagi, cafe saja belum buka.

Junkyu mengucek matanya yang masih sedikit mengantuk lalu mendudukkan dirinya di sebuah ayunan yang berada di taman bermain yang tak jauh dari gedung asramanya.

Junkyu terbangun pagi-pagi sekali lalu langsung menyelinap keluar kamar selagi Jihoon masih tertidur. Bahkan Junkyu tidak sempat sarapan.

Dirinya tidak mungkin bisa bertatap muka dengan Jihoon untuk sementara waktu mengingat apa yang telah lelaki Park itu lakukan kepadanya.

Junnyu tidak mengerti kenapa Jihoon melakukan hal seperti itu, apa Jihoon menyukai lelaki? Tapi kenapa dirinya? Lagipula Jihoon juga membencinya. Junkyu tidak habis pikir, sekeras apapun ia berusaha memikirkan apa maksud Jihoon sebenarnya otaknya malah terasa kram. Jadi Junkyu simpulkan sendiri kalau Jihoon itu sedikit tidak waras.

Junkyu menghela napas kasar lalu menendang asal kaleng bekas minuman ringan yang berada di kakinya dengan kuat hingga melayang mengenai seorang pemuda yang tengah berjongkok dibalik semak-semak, sepertinya ia tengah bersembunyi atau apalah itu.

“YA TUHAN!” Junkyu membekap mulutnya sendiri saat menyadari kesalahannya.

“Sialan! Siapa yang menendang kaleng sembarangan!” Pemuda itu langsung bangkit berdiri dan memandang kesekeliling dengan pandangan marah.

Tak butuh waktu lama mata pemuda itu menangkap keberadaan Junkyu yang berdiri panik di belakangnya.

“Kau!”

Junkyu semakin panik saat melihat pemuda yang menjadi korban tendangan kaleng mautnya berjalan kearahnya dengan langkah lebar dan wajah memerah marah.

“Ya Tuhan maafkan aku! ” Junkyu langsung menangkupkan kedua tangannya dan memohon maaf sambil memejamkan kedua matanya erat saat merasa pemuda itu sudah berada tepat di depannya. Astaga, ini masih pagi tapi sudah ada saja cobaan yang menimpanya.

“Yak! Kau pikir dengan kata maaf bisa menyelesaikan semuanya?!” Sembur pemuda itu murka.

Junkyu semakin mengeratkan pejaman matanya. Ia tidak berani menatap raut marah wajah pemuda itu.

“Asataga maafkan aku! Sungguh aku tidak sengaja! Kumo-”

“Disana kau rupanya! Kemari kau anak nakal!!”

Junkyu menghentikan kalimatnya saat mendengar seseorang berteriak dari arah belakang punggung pemuda asing itu. Junkyu membuka matanya sedikit dan melihat pemuda asing itu tengah menengok ke arah belakangnya sambil mengumpat.

“Sialan! Pria tua itu sudah menemukanku!” geram pemuda itu kesal, “Semua ini karna ulahmu!”

Junkyu sedikit tersentak saat pemuda asing tiba-tiba menghadapkan wajahnya kepada Junkyu dengan jari telunjuk yang mengacung tepat di depan hidungnya.

“Bagaimana bisa itu menjadi salahku!” Protes Junkyu tidak terima.

Pemuda itu menarik rambutnya frustasi saat melihat orang yang mengejarnya semakin berlari mendekat. Tanpa basa-basi pemuda itu langsung mencekal sebelah tangan Junkyu dan mengajaknya berlari menghindari orang yang sedang mengejarnya.

Junkyu terkesiap kaget saat tangannya ditarik begitu saja. Mau tidak mau ia ikut berlari bersama pemuda asing itu.

Mereka berdua terus belari ke area pemukiman warga yang bahkan Junkyu sendiri bingung mereka sedang berada di mana.

“Hghhnnn, stopp! Aku lelahh!” Junkyu melambatkan larinya dengan nafas terengah-engah. Ia merasa sudah berlari sangat jauh, ia sangat kelelahan. Bahkan kaos hitam di balik jaket yang Junkyu kenakan sudah basah karna keringat.

Pemuda itu langsung menghentikan langkahnya dan menarik tubuh Junkyu agar bersembunyi di samping toko buah yang telah tidak digunakan lagi.

“Astaga aku akan mati kehabisan nafas. ” Junkyu langsung mendudukan dirinya berselonjor dengan punggung yang bersandar pada tembok.

Pemuda itu juga mendudukkan dirinya disamping Junkyu lalu mendecih, “Baru segitu saja sudah lelah.”

Junkyu memicingkan matanya dan menatap pemuda asing yang duduk di sebelahnya dengan pandangan tak suka. Dirinya itu tidak suka jika disuruh olahraga, dan sekarang malah bocah asing ini memaksanya untuk berlari sangat jauh!

“Apa maksudmu segitu saja? Kau mengajakku berlari hampir 30 menit tanpa henti! Bahkan sekarang saja aku tidak tahu kita berada dimana!!” Sembur Junkyu kesal.

Pemuda itu menggaruk tengkuknya canggung, “Maafkan aku. “

“Impas.” Balas Junkyu ketus.

“Hah?” Pemuda itu memasang wajah bingung mendengar perkataan Junkyu.

“Aku sedang malas menjelaskan. Kau bodoh atau bagaimana sih? Begitu saja tidak tahu. “

Pemuda itu mengernyit tak suka mendengar ucapan Junkyu yang terdengar seperti tengah mencemoohnya itu.

“Jangan menatapku seperti itu!” Pekik Junkyu jengkel saat pemuda asing itu malah memandanginya dengan begitu intens.

“Siapa namamu? ” tanya pemuda itu tiba-tiba.

“Kim Junkyu. Kau?”

“Rahasia.”

“Yakk!!!” Junkyu memukul lengan pemuda asing dengan kuat, “Tidak adil!”

“Kenapa memangnya?  Itu kan hak-ku ingin memberitahu namaku atau tidak. “

Junkyu menarik napas dalam kemudian menghembuskannya pelan mencoba menahan emosi,  “Terserahmu saja. Ah omong-omong,  siapa paman yang mengejar kita tadi?” Tanya Junkyu penasaran.

“Dia Ayahku. “

Junkyu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar jawaban dari pemuda asing yang duduk di sebelahnya,  “D-dia apa?”

“Dia Ayahku. Kau tuli ya?” ulang pemuda itu dengan nada malas.

“Yak!  Bagaimana bisa kau kabur dari Ayahmu sendiri!!” Pekik Junkyu tidak habis pikir.

“Tentu saja bisa!” Balas pemuda itu.

Junkyu bangkit dari duduknya, ia turut serta menarik tangan pemuda itu supaya ikut berdiri.

“Mau kemana?”

“Kembali lah!  Kau pikir aku mau disni terus bersamamu?! Lagipula aku ini mau beker- ASTAGA CAFENYA SEBENTAR LAGI BUKA!!”

Junkyu berteriak dengan sangat heboh saat ia baru ingat jika ia tadi akan pergi bekerja paruh waktu.

“Kau kerja paruh waktu?” Tanya pemuda itu.

“Tidak usah kepo!”

Junkyu segera keluar dari tempat persembunyian lalu menggerutu kesal,  “Dimana sih ini?!” Ia mengalihkan pandangannya menatap pemuda asing yang berdiri dibelakangnya dengan tampang tidak merasa bersalah sama sekali,  “Heh!  Gara-gara kau kita tersesat!”

Pemuda tadi memasang ekspresi biasa saja,  “Santai saja. “

“Santai kepalamu itu! Bagaimana ini!  Ah ponsel!” Junkyu meraba-raba kantung jaket dan celananya,  tapi ia tidak menemukan benda yang ia cari.

“Ponselku kemana?!!!!” Junkyu semakin panik saat ia benar-benar tidak menemukan ponselnya.

“Jatuh mungkin. ” Sahut pemuda itu.

Junkyu memicingkan matanya geram,  “Semua ini gara-gara kau!!!!”

“Iya semua gara-gara diriku. ” balasnya sambil memutar bola matanya malas.

“Kau harus mengganti ponselku!”

Pemuda itu mendecakkan lidahnya,  “Tenang saja,  aku akan menggantikan ponselmu itu dengan ponsel yang bekali lipat lebih bagus. “

“Awas kau bohong!”

“Tidak-tidak!  Kau ini sensitif sekali. Sedang datang bulan ya?”

“Kau buta?! Aku laki-laki sialan!!”

Pemuda itu tergelak melihat wajah Junkyu yang memerah marah karna ulahnya. Astaga,  bocah ini sangat menggemaskan!


Setelah melalui banyak perdebatan,  mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berjalan kembali menuju tempat pertama kali mereka bertemu,  yaitu taman bermain.

“Jika kita tersasar,  aku akan kembali menyalahkanmu!” Ancam Junkyu.

Pemuda yang berjalan disebelahnya hanya menghela nafas jengah. Ini sudah ke-sekian kalinya Junkyu mengatakan hal itu. Ia sudah mulai bosan.

“Ah!  Aku ingat! Bukannya tadi sewaktu berlari kita melewati toko itu?” Seru Junkyu saat melihat sebuah pastri bernuansa pastel di depan sana.

“Ah kau benar,  berarti kita tinggal lurus sedikit lagi kemudian kita akan sampai di jalan menuju taman bermain.”

Junkyu menghela nafas lega. Sudah hampir 2 jam ia bersama pemuda ini,  dan ia sekarang takut Hyunsuk hyung dan Gon hyung menunggunya.

“Ayo cepat jalannya!  Aku sudah di tunggu tahu!” Junkyu melebarkan langkahnya dan berjalan cepat-cepat.

“Hei! Tunggu!”

Junkyu menghentikan langkahnya saat mendengar pemuda asing itu memanggilnya,  “Kenapa?” Tanya Junkyu keheranan.

“Itu-” pemuda itu menunjuk salah satu toko ponsel yang berada di pinggir jalan,  “Ayo beli ponsel untukmu dulu. “

Tanpa menunggu jawaban dari Junkyu,  pemuda itu langsung saja memasuki toko ponsel itu. Membuat Junkyu mau tidak mau segera menyusulnya.

Mereka berdua berdiri di etalase yang memamerkan berbagai jenis ponsel keluaran terbaru dengan harga selangit, “Hei,  pilihlah ponsel yang kau mau. “

Junkyu menolehkan wajahnya ke arah pemuda yang berdiri di sampingnya sambil menatapnya ngeri. “Kau yakin? Ponsel yang ada disini sangat mahal!  Aku mau ponsel yang biasa saja.”

Pemuda itu menggelengkan kepalanya,  “Tidak. Pilih yang ada disini atau aku tidak mau menggantinya sama sekali. “

Junkyu mengepalkan tangannya menahan emosi. Astaga kenapa orang ini sangat mengesalkan!

“Aku mau yang ini saja. ” Junkyu menunjuk salah satu ponsel yang ia yakini adalah ponsel yang paling murah harganya.

Pemuda itu menganggukan kepalanya singkat kemudian memanggil pelayan toko.

Setelah urusan bayar-membayar telah selesai,  Junkyu dan pemuda itu langsung bergegas pergi meninggalkan toko ponsel tersebut dan melanjutkan perjalan mereka menuju taman bermain. Dan setelah berjalan cukup lama,  akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan.

“Nah,  aku sudah menyimpan nomerku di dalam ponselmu. Hubungi aku jika kau sudah membeli kartu ya. “

Junkyu mendecih,  “Aku bahkan tidak tahu namamu siapa.”

Pemuda itu terkekeh geli laku mengacak-acak rambut Junkyu gemas. “Kau penasaran namaku siapa?”

“Jangan acak-acak rambutku!” Ujar Junkyu sambil mendelik marah, “Aku tidak perduli namamu siapa. “

Pemuda itu tertawa melihat ekspresi kesal Junkyu, “Kalau begitu aku pergi dulu. Terimakasih sudah bersedia kabur bersamaku. Sampai jumpa Kim Junkyu!”

Junkyu hanya bisa menganga tidak percaya melihat pemuda asing itu melenggang pergi begitu saja. Junkyu mengerutkan dahinya bingung saat melihat pemuda itu berjalan menuju gedung asramanya.

“Apa dia mahasiswa di universitasku?” Gumam Junkyu, “Tapi dia terlihat lebih muda dariku.” Junkyu menggelengkan kepalanya pelan, “Masa bodoh ah.” Junkyu tidak mau pusing, sekarang lebih baik memikirkan bagaimana menghindari amukan Gon karena dirinya telat hampir 2 jam.


Omake:

Jihoon memakan sarapannya dengan suasana hati yang tak enak. Pasalnya saat ia terbangun, Junkyu sudah tidak ada di ranjangnya. Jihoon tebak pasti Junkyu tidak mau berhadapan dengannya.

Tapi yang membuat Jihoon tidak mengerti pada dirinya sendiri adalah, alih-alih senang karena Junkyu menghindarinya dan tidak menujukkan wajahnya di hadapannya, dirinya malah merasa kesal.

Jihoon tidak mengerti dengan perasaannya. Jihoon membenci Junkyu, itu pasti. Tapi kenapa?

Tok! Tok!

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, Jihoon mengernyitkan dahinya bingung, apa itu Junkyu? Kalau iya, kenapa harus mengetuk dulu? Apa karena bocah itu merasa takut ada dirinya di dalam? Batin Jihoon bertanya-tanya.

Jihoon berjalan menuju pintu lalu membukanya.

“Ya! Kim Junkyu! Kenapa mengetuk-”

“Hai hyung.”

Perkataan Jihoon yang sudah di ujung lidah terpaksa ia telan kembali saat melihat bukan Junkyu lah yang berada di hapadannya.

“Aku dengar kau pindah ke asrama, jadi aku mengunjungimu.” Ucap orang itu, “Omong-omong kau kau kenal Kim Junkyu?”

Jihoon mengepalkan tangannya erat, “Bukan urusanmu, lebih baik kau pergi dari sini.”

Baru saja Jihoon hendak menutup pintu, orang itu segera menahannya, “Apa Kim Junkyu itu kekasihmu? Bagaimana dengan Lia?”

Jihoon menggeretakkan giginya menahan emosi saat melihat orang itu menyeringai, “Pergi dari sini, itu semua bukan urusanmu.”

“Kenapa? Kau takut Lia akan kembali menyukaiku seperti dulu? Atau kau takut kehilangan Junkyu?”

Wajah Jihoon memerah marah, ia meraih kerah orang asing itu lalu menatapnya tajam, “Berhenti mengatakan omong kosong seakan-akan kau mengenal Kim Junkyu. Dan jangan pernah muncul di hadapan Lia lagi jika kau tidak ingin mati ditanganku.”

Orang itu melepaskan cengkraman Jihoon pada kerahnya lalu tersenyum miring, “Aku memang mengenal Kim Junkyu..” orang itu memajukan wajahnya ke telinga Jihoon lalu berbisik, “Sepertinya aku menjadi Gay, karena mendadak aku jatuh cinta padanya.”

Tubuh Jihoon langsung membeku, membuat lelaki itu semakin tersenyum lebar, “Hah, sudah tidak asik menggodamu sekarang. Percuma aku yang baru kembali dari jepang ini kabur sampai dikejar Ayahku untuk bisa menemuimu. Kalau begitu aku pergi dulu, sepupuku.”

Jihoon mengepalkan tangannya erat lalu memukul tembok yang ada di sebelahnya dengan kuat, “Watanabe Haruto, kenapa kau harus kembali lagi?!”

.

.

.

“Ahh sial!”

Jihoon membanting jurnalnya ke atas meja. Ia mengusap wajahnya kasar lalu mendesah pelan. Dirinya benar-benar tidak fokus pada kuliahnya kali ini, pikirannya terpusat pada apa yang telah ia lakukan tadi malam.

Jihoon tidak habis pikir pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang telah ia lakukan? Kenapa dirinya sampai berbuat hal tidak bermoral seperti itu kepada Kim Junkyu? Apa dirinya begitu marah hingga lepas kendali? Tapi mengapa ia melakukan itu?

Masih sangat jelas di ingatannya bagaimana wajah Junkyu yang memerah dan berlinang air mata saat dirinya sentuh. Serta sorot mata lelaki itu yang begitu penuh kebencian yang di tujukan kepadanya.

Park Jihoon, apa yang telah kau lakukan?

“Hey, kau oke? Ada masalah?” Tanya Hyunjin yang duduk disebelahnya.

Jihoon menolehkan kepalanya ke arah Hyunjin lalu mengibaskan tangannya pelan, “Tidak ada.”

Hyunjin memicingkan matanya curiga, dirinya dan Jihoon telah berteman sejak duduk dibangku menengah atas, tentu saja ia bisa merasakan jika ada yang tidak beres dengan temannya satu ini.

“Lia lagi?”

Jihoon tertawa kecil lalu menggeleng, “Tidak, dia baik-baik saja.”

Raut wajah Hyunjin semakin mengkerut aneh, “Lalu? Kau hanya seperti ini jika ada masalah berat. Kalau bukan tentang Lia sahabat tersayangmu, lalu masalah apa?”

“Aku bilang tidak ada. Berhenti memikirkan hal yang tidak perlu.” Jihoon meletakkan kepalanya di atas meja lalu menutup matanya.

“Baiklah.”

“Oh iya, ” Hyunjin menepuk pelan pundak Jihoon, membuat lelaki Park itu menoleh, “Kau jadi pindah ke asrama?” Tanya Hyunjin.

Jihoon menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Kenapa?” Hyunjin menampilkan raut wajah bingung, “Bukannya kau sudah punya apartemen?”

“Aku masuk tim inti klub basket, mau tidak mau aku harus tinggal di asrama agar bisa latihan maksimal.” Jihoon menghela napas kasar.

“Kenapa aku masuk tim basket ya?” Gumam Jihoon.

Hyunjin memutar bola matanya malas, “Itu yang jadi pertanyaanku, kenapa kau tiba-tiba masuk tim basket. Padahal dulu kau sudah bilang tidak mau main basket lagi.”

Jihoon tersenyum masam, “Entahlah, aku juga tidak tahu.”

Hyunjin berdecih pelan, “Dasar. Jadi kapan kau akan pindah?”

Jihoon tampak memasang raut wajah berpikir, “Mungkin besok.”

“Aku harap kau betah.” Ucap Hyunjin.

“Aku bisa kabur jika tidak betah.” Balas Jihoon enteng.

“Aku adukan Lia.”

“Kau ingin mati?”

Hyunjin tertawa, “Bercanda.”

Tiba-tiba saja Jihoon bangkit dari duduknya, membuat Hyunjin mengernyit, “Mau kemana?”

“Menemui Lia.” Jawab Jihoon lalu langsung berjalan pergi begitu saja.

Hyunjin yang melihat kepergian Jihoon hanya bisa menggelengkan kepalanya prihatin, “Sampai kapan kau akan bersikap seperti itu Park Jihoon?”

Sementara itu dilain tempat, Hyunsuk menggedor pintu kamar asrama Junkyu dengan keras tapi tidak ada jawaban, “Kyu! Kim Junkyu! Buka pintunya! Biarkan hyung masuk! Kau tidak apa-apa??”

Asahi yang berdiri di sebelah Hyunsuk menghela napas pelan, “Aku khawatir padanya, dia tidak pernah seperti ini.”

Hyunsuk menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Asahi. Junkyu tidak pernah mengurung dirinya sendiri di dalam kamar asrama. Jika ada yang terjadi, pasti dia akan bercerita kepadanya, Yedam, atau Asahi. Tapi kali ini anak itu benar-benar menutup diri, bahkan membalas pesannya saja tidak.

“Apa terjadi sesuatu padanya?” Lirih Hyunsuk pelan.

Asahi melirik pada jam yang melingkar di tangannya, “Aku piket pagi ini hyung, lebih baik kita biarkan Junkyu sendiri lebih dulu, mungkin dia sedang ingin sendiri. Nanti malam kita kesini lagi.”

“Baiklah. Aku akan bilang pada Gon hyung kalau Junkyu izin untuk sementara.” Ucap Hyunsuk.

“Kalau begitu ayo kita pergi.” Ajak Asahi.

Sebelum pergi, Hyunsuk menatap pintu kamar Junkyu untuk terakhir kali, “Ku harap dia baik-baik saja.” Lirih Hyunsuk lalu segera berjalan menyusul Asahi yang sudah pergi terlebih dahulu.

Di dalam kamar asaramanya, Junkyu meringkuk di atas ranjangnya. Matanya sembab, wajahnya pucat karena menangis dan terjaga semalaman. Junkyu bangkit dari tempat tidurnya secara perlahan. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamar mandi.

Junkyu menatap pantulan wajahnya yang tampak begitu menyedihkan di cermin, lalu tanpa ia sadar setetes air mata kembali jatuh di pipinya.

Junkyu tersenyum pahit lalu mengusap air matanya, “Dia benar. Aku lemah, aku seperti perempuan.”

Tubuh Junkyu merosot di kebawah dan jatuh terduduk di lantai. Hatinya sakit, harga dirinya terluka. Kejadian yang tampak seperti mimpi buruk itu terus berputar otomatis di dalam kepalanya. Bagaimana ia dilecehkan secara fisik maupun mental.

Dirinya tidak mengerti kesalahan apa yang ia perbuat kepada Jihoon sehingga lelaki itu melakukan hal sekejam itu kepadanya. Apa yang telah ia lakukan? Junkyu tidak mengerti, Junkyu tidak paham.

.

.

.

“Hah aku lelah!” Jaemin berjalan kepinggir lapangan lalu mendudukkan dirinya disebelah Jihoon. Lelaki Na itu melirik kearah Jihoon yang sedang asik memainkan ponselnya alih-alih berlatih seperti anggota klub basket lainnya.

“Pemain genius sepertimu memang beda ya.” Ucap Jaemin seraya menghela nafas.

Jihoon melirik ke arah Jaemin lalu menghendikkan bahunya singkat, membuat Jaemin berdecih sebal.

“Lihat itu, bahkan kapten juga tidak ikut latihan.” Jaemin menunjuk kearah Jeno yang sedang berdiri di depan pintu ruangan lapangan basket seraya memasang raut wajah cemas.

Jihoon mengikuti arah pandang Jaemin, “Kenapa dia?”

“Dia pasti menunggu Junkyu.” Balas Jaemin sambil bersedekap dada.

Jihoon langsung menaikkan sebelah alisnya mendengar perkataan Jaemin, “Menunggu siapa?”

“Junkyu.” Jaemin sedikit memiringkan kepalanya, “Dia itu anggota kesayangannya kapten.” Lanjutnya.

“Benarkah?” Jihoon tertawa sinis. Mereka berdua memang sialan. Baik Jeno, maupun Kim Junkyu.

“Kapten selalu mengkhawatirkannya padahal Junkyu tidak kenapa-kenapa. Kalau sedang dikelas saja dia selalu membicarakan Junkyu. Ya memang sih, Junkyu itu sangat imut dan manis untuk ukuran lelaki. Aku saja kadang gemas sampai tidak sadar menggigit pipinya.” Ucap Jaemin sambil tertawa.

Jihoon tidak menanggapi perkataan Jaemin dan memutuskan untuk bangkit berdiri dan ikut berlatih seperti anggota klub lainnya.

Jeno terus berjalan mondar-mandir seraya memasang raut wajah gelisah. Sesekali lelaki itu melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah telat 25 menit, Junkyu tidak pernah setelat ini.

Jika lelaki manis itu ada urusan mendadak, pasti dia menghubunginya, tapi kali ini tidak sama sekali. Bahkan ponselnya saja tidak aktif. Jeno takut terjadi hal buruk pada Junkyu.

“Jeno.”

Jeno yang sedang mencoba menghubungi ponsel Junkyu mengangkat wajahnya saat mendengar namanya dipanggil. Lalu setelah tahu siapa orang yang memanggilnya, ekspresi Jeno seketika berubah menjadi lega.

“Kim Junkyu.”

Junkyu tersenyum tipis lalu berjalan mendekati Jeno, “Aku ingin memberikan ini.” Junkyu menyodorkan sebuah paper bag berwarna coklat muda kepada Jeno.

Jenp mengernyitkan dahinya bingung, “Apa ini?”

“Sepatu basket yang kau berikan padaku musim panas kemarin.”

Mata Jeno langsung melebar mendengar perkataan Junkyu, “Kenapa kau mengembalikannya? Ini hadiah untukmu.”

Junkyu menundukkan wajahnya seraya menggeleng pelan, “Aku..” telapak tangan Junkyu terkepal erat berusaha menahan semua emosi yang menekan dadanya.

“Junkyu?” Jeno meraih sebelah tangan Junkyu lalu menggenggamnya erat, “Kau baik-baik saja? Kau sakit? Katakan pada-”

“Aku ingin berhenti bermain basket.”

Genggaman tangan Jeno seketika langsung terlepas begitu saja. Matanya menatap Junkyu dengan tatapan tidak percaya.

“Apa kau bilang?”

Junkyu mengangkat wajahnya lalu menatap Jeno dengan pandangan tegas, “Aku ingin berhenti bermain basket.”

“Jangan main-main Kim Junkyu? Kenapa tiba-tiba kau ingin berhenti?!”

“Tidak, ini tidak tiba-tiba. Aku sudah memikirnya sejak lama, aku tidak bisa bermain basket. Mau seberapa sukanya diriku pada basket, aku tetap tidak bisa.” Suara Junkyu mulai bergetar, “Sampai kapanpun aku tidak akan bisa mengejar yang lainnya. Jaemin, Yoshi, Jaehyuk, ataupun dirimu. Hal itu hanya membuatku frustasi. Aku tidak bisa menahannya lagi.”

“KIM JUNKYU!” Bentak Jeno keras. Membuat seluruh orang yang ada dilapangan itu langsung menghentikan kegiatan mereka, termasuk Jihoon yang langsung menatap ke arah Jeno dan Junkyu.

Junkyu merasa dadanya semakin sesak, kepalanya mulai terasa pusing dan ia merasa akan segera meledak, “Aku permisi. Terimakasih untuk selama ini.” Junkyu membungkukkan tubuhnya dihadapan Jeno lalu berbalik pergi.

“JUNKYU!” Jeno membanting paper bag yang Junkyu berikan dan langsung mengejar Junkyu yang telah pergi begitu saja.

Para anggota klub langsung berbisik-bisik melihat apa yang terjadi barusan.

“Apa yang terjadi?” Bisik Jaemin kepada Yoshi.

Yoshi menggelengkan kepalanya, “Aku tidak pernah melihat kapten semarah itu.” Balas Yoshi.

“Aku juga.”

Jihoon tertawa kecil, semuanya semakin menarik saja.

.

.

.

Junkyu hanya bisa menangis sesegukan seraya menceritakan bahwa ia keluar dari klub basket kepada Hyunsuk dan Asahi yang ada di samping kiri dan kanannya.

Seperti apa yang mereka berdua katakan, mereka kembali lagi ke kamar asrama Junkyu. Beruntung Junkyu mau membukakan pintu dan mengizinkan mereka berdua masuk.

Junkyu tentu saja tidak menceritakan semuanya, tidak mungkin dia mengatakan kepada Hyunsuk dan Asahi jika alasan sebenarnya ia keluar dari klub basket karena Park Jihoon, lelaki yang membencinya dan sudah melecehkannya. Junkyu terlalu takut untuk memberi tahu kedua sahabatnya itu.

“Kau membuat kami berdua khawatir?” Hyunsuk mengusap pelan kepala Junkyu dengan sayang. Membuat yang lebih muda memejamkan matanya nyaman.

Plak!

“Aduh!!”

Junkyu mengaduh kesakitan saat tiba-tiba kepalanya digeplak dengan keras.

“Kenapa memukulku sialan??! Aku sedang sedih!” Sembur Junkyu seraya memelototkan matanya garang kepada Asahi.

“K-kau!–”

Junkyu dan Hyunsuk langsung memasang wajah panik saat mendengar suara Asahi yang gemetar.

“Kenapa menangis??!” Tanya Junkyu panik saat melihat Asahi mulai menitikkan air mata.

“Aku kira ada sesuatu yang terjadi padamu. Aku takut sekali.” Jawab Asahi sambil menghapus air matanya.

“Aaaa maafkan aku!” Junkyu segera merengkuh Asahi ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.

Hyunsuk tersenyum melihat kedua sahabatnya berpelukan seraya menangis seperti itu. Hyunsuk sangat paham, walaupun Asahi terlihat dingin dan acuh pada sekitarnya, tetapi dia adalah orang yang sangat peka dan perhatian. Hyunsuk yakin pasti seharian ini Asahi tidak fokus pada belajarnya karena memikirkan Junkyu.

Asahi melepaskan pelukannya pada Junkyu lalu menangkup kedua sisi wajah sahabatnya itu, “Jangan ulangi lagi, atau aku tidak akan mau berteman denganmu lagi.” Ancam Asahi yang langsung diangguki oleh Junkyu, “Maaf.”

Hyunsuk melirik ke arah jam tangannya lalu bangkit berdiri, “Sudah malam, kita berdua harus pulang.”

Junkyu langsung mengerucutkan bibirnya, “Kalian tidak mau menginap?”

“Tidak. Kita sekolah besok.” Asahi ikut bangkit berdiri lalu memakai mantelnya.

“Yep.” Timpal Hyunsuk.

“Tidak setia kawan.” Cibir Junkyu.

“Kita pergi ya.” Pamit Hyunsuk dan Asahi bersamaan.

“Ya.” Balas Junkyu ketus.

“Oh iya kyu,” Hyunsuk yang baru saja hendak membuka pintu kamar asrama Junkyu menoleh, “Tadi ketua asrama mencarimu, katanya ada siswa yang akan jadi roommate mu.”

Junkyu langsung melebarkan matanya mendengar perkataan Hyunsuk, “Serius hyung?!”

Hyunsuk menganggukkan kepalanya, “Iya.” Ucapnya lalu berjalan pergi.

Setelah kepergian Hyunsuk, Junkyu langsung menarik rambutnya frustasi. Bagaimana ini?? Dia belum membersihkan kamar asramanya ini!

Junkyu segera bangkit dari posisi duduknya lalu mulai merapihkan barang-barangnya.

“Astaga! Kamar ini seperti kapal pecah!” Dumal Junkyu saat ia menyadari bahwa kamarnya benar-benar kacau.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, Junkyu yang sedang menurunkan barang-barangnya dari ranjang atas langsung membeku. Apa itu roommate barunya? Bagaimana bisa secepat ini datangnya???!

Dengan langkah perlahan Junkyu berjalan mendekati pintu kamar asramanya. Jantungnya berdegup kencang karna gugup.

Junkyu membuka pintu asramanya, dan sedetik kemudian tubuhnya langsung mundur kebelakang beberapa langkah saat melihat sosok yang berdiri dihadapannya.

“Hah.. takdir macam apa ini?”

Tubuh Junkyu gemetar, wajahnya seketika berubah pucat pasi. Dihadapannya kini berdiri sosok yang telah menjadi mimpi buruknya. Sosok yang ingin hindari mati-matian.

“Pa-park Jihoon?”

.

.

.

.

.

“Ahh sial!”

Jihoon membanting jurnalnya ke atas meja. Ia mengusap wajahnya kasar lalu mendesah pelan. Dirinya benar-benar tidak fokus pada kuliahnya kali ini, pikirannya terpusat pada apa yang telah ia lakukan tadi malam.

Jihoon tidak habis pikir pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang telah ia lakukan? Kenapa dirinya sampai berbuat hal tidak bermoral seperti itu kepada Kim Junkyu? Apa dirinya begitu marah hingga lepas kendali? Tapi mengapa ia melakukan itu?

Masih sangat jelas di ingatannya bagaimana wajah Junkyu yang memerah dan berlinang air mata saat dirinya sentuh. Serta sorot mata lelaki itu yang begitu penuh kebencian yang di tujukan kepadanya.

Park Jihoon, apa yang telah kau lakukan?

“Hey, kau oke? Ada masalah?” Tanya Hyunjin yang duduk disebelahnya.

Jihoon menolehkan kepalanya ke arah Hyunjin lalu mengibaskan tangannya pelan, “Tidak ada.”

Hyunjin memicingkan matanya curiga, dirinya dan Jihoon telah berteman sejak duduk dibangku menengah atas, tentu saja ia bisa merasakan jika ada yang tidak beres dengan temannya satu ini.

“Lia lagi?”

Jihoon tertawa kecil lalu menggeleng, “Tidak, dia baik-baik saja.”

Raut wajah Hyunjin semakin mengkerut aneh, “Lalu? Kau hanya seperti ini jika ada masalah berat. Kalau bukan tentang Lia sahabat tersayangmu, lalu masalah apa?”

“Aku bilang tidak ada. Berhenti memikirkan hal yang tidak perlu.” Jihoon meletakkan kepalanya di atas meja lalu menutup matanya.

“Baiklah.”

“Oh iya, ” Hyunjin menepuk pelan pundak Jihoon, membuat lelaki Park itu menoleh, “Kau jadi pindah ke asrama?” Tanya Hyunjin.

Jihoon menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Kenapa?” Hyunjin menampilkan raut wajah bingung, “Bukannya kau sudah punya apartemen?”

“Aku masuk tim inti klub basket, mau tidak mau aku harus tinggal di asrama agar bisa latihan maksimal.” Jihoon menghela napas kasar.

“Kenapa aku masuk tim basket ya?” Gumam Jihoon.

Hyunjin memutar bola matanya malas, “Itu yang jadi pertanyaanku, kenapa kau tiba-tiba masuk tim basket. Padahal dulu kau sudah bilang tidak mau main basket lagi.”

Jihoon tersenyum masam, “Entahlah, aku juga tidak tahu.”

Hyunjin berdecih pelan, “Dasar. Jadi kapan kau akan pindah?”

Jihoon tampak memasang raut wajah berpikir, “Mungkin besok.”

“Aku harap kau betah.” Ucap Hyunjin.

“Aku bisa kabur jika tidak betah.” Balas Jihoon enteng.

“Aku adukan Lia.”

“Kau ingin mati?”

Hyunjin tertawa, “Bercanda.”

Tiba-tiba saja Jihoon bangkit dari duduknya, membuat Hyunjin mengernyit, “Mau kemana?”

“Menemui Lia.” Jawab Jihoon lalu langsung berjalan pergi begitu saja.

Hyunjin yang melihat kepergian Jihoon hanya bisa menggelengkan kepalanya prihatin, “Sampai kapan kau akan bersikap seperti itu Park Jihoon?”

Sementara itu dilain tempat, Hyunsuk menggedor pintu kamar asrama Junkyu dengan keras tapi tidak ada jawaban, “Kyu! Kim Junkyu! Buka pintunya! Biarkan hyung masuk! Kau tidak apa-apa??”

Asahi yang berdiri di sebelah Hyunsuk menghela napas pelan, “Aku khawatir padanya, dia tidak pernah seperti ini.”

Hyunsuk menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Asahi. Junkyu tidak pernah mengurung dirinya sendiri di dalam kamar asrama. Jika ada yang terjadi, pasti dia akan bercerita kepadanya, Yedam, atau Asahi. Tapi kali ini anak itu benar-benar menutup diri, bahkan membalas pesannya saja tidak.

“Apa terjadi sesuatu padanya?” Lirih Hyunsuk pelan.

Asahi melirik pada jam yang melingkar di tangannya, “Aku piket pagi ini hyung, lebih baik kita biarkan Junkyu sendiri lebih dulu, mungkin dia sedang ingin sendiri. Nanti malam kita kesini lagi.”

“Baiklah. Aku akan bilang pada Gon hyung kalau Junkyu izin untuk sementara.” Ucap Hyunsuk.

“Kalau begitu ayo kita pergi.” Ajak Asahi.

Sebelum pergi, Hyunsuk menatap pintu kamar Junkyu untuk terakhir kali, “Ku harap dia baik-baik saja.” Lirih Hyunsuk lalu segera berjalan menyusul Asahi yang sudah pergi terlebih dahulu.

Di dalam kamar asaramanya, Junkyu meringkuk di atas ranjangnya. Matanya sembab, wajahnya pucat karena menangis dan terjaga semalaman. Junkyu bangkit dari tempat tidurnya secara perlahan. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamar mandi.

Junkyu menatap pantulan wajahnya yang tampak begitu menyedihkan di cermin, lalu tanpa ia sadar setetes air mata kembali jatuh di pipinya.

Junkyu tersenyum pahit lalu mengusap air matanya, “Dia benar. Aku lemah, aku seperti perempuan.”

Tubuh Junkyu merosot di kebawah dan jatuh terduduk di lantai. Hatinya sakit, harga dirinya terluka. Kejadian yang tampak seperti mimpi buruk itu terus berputar otomatis di dalam kepalanya. Bagaimana ia dilecehkan secara fisik maupun mental.

Dirinya tidak mengerti kesalahan apa yang ia perbuat kepada Jihoon sehingga lelaki itu melakukan hal sekejam itu kepadanya. Apa yang telah ia lakukan? Junkyu tidak mengerti, Junkyu tidak paham.


“Hah aku lelah!” Jaemin berjalan kepinggir lapangan lalu mendudukkan dirinya disebelah Jihoon. Lelaki Na itu melirik kearah Jihoon yang sedang asik memainkan ponselnya alih-alih berlatih seperti anggota klub basket lainnya.

“Pemain genius sepertimu memang beda ya.” Ucap Jaemin seraya menghela nafas.

Jihoon melirik ke arah Jaemin lalu menghendikkan bahunya singkat, membuat Jaemin berdecih sebal.

“Lihat itu, bahkan kapten juga tidak ikut latihan.” Jaemin menunjuk kearah Jeno yang sedang berdiri di depan pintu ruangan lapangan basket seraya memasang raut wajah cemas.

Jihoon mengikuti arah pandang Jaemin, “Kenapa dia?”

“Dia pasti menunggu Junkyu.” Balas Jaemin sambil bersedekap dada.

Jihoon langsung menaikkan sebelah alisnya mendengar perkataan Jaemin, “Menunggu siapa?”

“Junkyu.” Jaemin sedikit memiringkan kepalanya, “Dia itu anggota kesayangannya kapten.” Lanjutnya.

“Benarkah?” Jihoon tertawa sinis. Mereka berdua memang sialan. Baik Jeno, maupun Kim Junkyu.

“Kapten selalu mengkhawatirkannya padahal Junkyu tidak kenapa-kenapa. Kalau sedang dikelas saja dia selalu membicarakan Junkyu. Ya memang sih, Junkyu itu sangat imut dan manis untuk ukuran lelaki. Aku saja kadang gemas sampai tidak sadar menggigit pipinya.” Ucap Jaemin sambil tertawa.

Jihoon tidak menanggapi perkataan Jaemin dan memutuskan untuk bangkit berdiri dan ikut berlatih seperti anggota klub lainnya.

Jeno terus berjalan mondar-mandir seraya memasang raut wajah gelisah. Sesekali lelaki itu melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah telat 25 menit, Junkyu tidak pernah setelat ini.

Jika lelaki manis itu ada urusan mendadak, pasti dia menghubunginya, tapi kali ini tidak sama sekali. Bahkan ponselnya saja tidak aktif. Jeno takut terjadi hal buruk pada Junkyu.

“Jeno.”

Jeno yang sedang mencoba menghubungi ponsel Junkyu mengangkat wajahnya saat mendengar namanya dipanggil. Lalu setelah tahu siapa orang yang memanggilnya, ekspresi Jeno seketika berubah menjadi lega.

“Kim Junkyu.”

Junkyu tersenyum tipis lalu berjalan mendekati Jeno, “Aku ingin memberikan ini.” Junkyu menyodorkan sebuah paper bag berwarna coklat muda kepada Jeno.

Jenp mengernyitkan dahinya bingung, “Apa ini?”

“Sepatu basket yang kau berikan padaku musim panas kemarin.”

Mata Jeno langsung melebar mendengar perkataan Junkyu, “Kenapa kau mengembalikannya? Ini hadiah untukmu.”

Junkyu menundukkan wajahnya seraya menggeleng pelan, “Aku..” telapak tangan Junkyu terkepal erat berusaha menahan semua emosi yang menekan dadanya.

“Junkyu?” Jeno meraih sebelah tangan Junkyu lalu menggenggamnya erat, “Kau baik-baik saja? Kau sakit? Katakan pada-”

“Aku ingin berhenti bermain basket.”

Genggaman tangan Jeno seketika langsung terlepas begitu saja. Matanya menatap Junkyu dengan tatapan tidak percaya.

“Apa kau bilang?”

Junkyu mengangkat wajahnya lalu menatap Jeno dengan pandangan tegas, “Aku ingin berhenti bermain basket.”

“Jangan main-main Kim Junkyu? Kenapa tiba-tiba kau ingin berhenti?!”

“Tidak, ini tidak tiba-tiba. Aku sudah memikirnya sejak lama, aku tidak bisa bermain basket. Mau seberapa sukanya diriku pada basket, aku tetap tidak bisa.” Suara Junkyu mulai bergetar, “Sampai kapanpun aku tidak akan bisa mengejar yang lainnya. Jaemin, Yoshi, Jaehyuk, ataupun dirimu. Hal itu hanya membuatku frustasi. Aku tidak bisa menahannya lagi.”

“KIM JUNKYU!” Bentak Jeno keras. Membuat seluruh orang yang ada dilapangan itu langsung menghentikan kegiatan mereka, termasuk Jihoon yang langsung menatap ke arah Jeno dan Junkyu.

Junkyu merasa dadanya semakin sesak, kepalanya mulai terasa pusing dan ia merasa akan segera meledak, “Aku permisi. Terimakasih untuk selama ini.” Junkyu membungkukkan tubuhnya dihadapan Jeno lalu berbalik pergi.

“JUNKYU!” Jeno membanting paper bag yang Junkyu berikan dan langsung mengejar Junkyu yang telah pergi begitu saja.

Para anggota klub langsung berbisik-bisik melihat apa yang terjadi barusan.

“Apa yang terjadi?” Bisik Jaemin kepada Yoshi.

Yoshi menggelengkan kepalanya, “Aku tidak pernah melihat kapten semarah itu.” Balas Yoshi.

“Aku juga.”

Jihoon tertawa kecil, semuanya semakin menarik saja.


Junkyu hanya bisa menangis sesegukan seraya menceritakan bahwa ia keluar dari klub basket kepada Hyunsuk dan Asahi yang ada di samping kiri dan kanannya.

Seperti apa yang mereka berdua katakan, mereka kembali lagi ke kamar asrama Junkyu. Beruntung Junkyu mau membukakan pintu dan mengizinkan mereka berdua masuk.

Junkyu tentu saja tidak menceritakan semuanya, tidak mungkin dia mengatakan kepada Hyunsuk dan Asahi jika alasan sebenarnya ia keluar dari klub basket karena Park Jihoon, lelaki yang membencinya dan sudah melecehkannya. Junkyu terlalu takut untuk memberi tahu kedua sahabatnya itu.

“Kau membuat kami berdua khawatir?” Hyunsuk mengusap pelan kepala Junkyu dengan sayang. Membuat yang lebih muda memejamkan matanya nyaman.

Plak!

“Aduh!!”

Junkyu mengaduh kesakitan saat tiba-tiba kepalanya digeplak dengan keras.

“Kenapa memukulku sialan??! Aku sedang sedih!” Sembur Junkyu seraya memelototkan matanya garang kepada Asahi.

“K-kau!–”

Junkyu dan Hyunsuk langsung memasang wajah panik saat mendengar suara Asahi yang gemetar.

“Kenapa menangis??!” Tanya Junkyu panik saat melihat Asahi mulai menitikkan air mata.

“Aku kira ada sesuatu yang terjadi padamu. Aku takut sekali.” Jawab Asahi sambil menghapus air matanya.

“Aaaa maafkan aku!” Junkyu segera merengkuh Asahi ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.

Hyunsuk tersenyum melihat kedua sahabatnya berpelukan seraya menangis seperti itu. Hyunsuk sangat paham, walaupun Asahi terlihat dingin dan acuh pada sekitarnya, tetapi dia adalah orang yang sangat peka dan perhatian. Hyunsuk yakin pasti seharian ini Asahi tidak fokus pada belajarnya karena memikirkan Junkyu.

Asahi melepaskan pelukannya pada Junkyu lalu menangkup kedua sisi wajah sahabatnya itu, “Jangan ulangi lagi, atau aku tidak akan mau berteman denganmu lagi.” Ancam Asahi yang langsung diangguki oleh Junkyu, “Maaf.”

Hyunsuk melirik ke arah jam tangannya lalu bangkit berdiri, “Sudah malam, kita berdua harus pulang.”

Junkyu langsung mengerucutkan bibirnya, “Kalian tidak mau menginap?”

“Tidak. Kita sekolah besok.” Asahi ikut bangkit berdiri lalu memakai mantelnya.

“Yep.” Timpal Hyunsuk.

“Tidak setia kawan.” Cibir Junkyu.

“Kita pergi ya.” Pamit Hyunsuk dan Asahi bersamaan.

“Ya.” Balas Junkyu ketus.

“Oh iya kyu,” Hyunsuk yang baru saja hendak membuka pintu kamar asrama Junkyu menoleh, “Tadi ketua asrama mencarimu, katanya ada siswa yang akan jadi roommate mu.”

Junkyu langsung melebarkan matanya mendengar perkataan Hyunsuk, “Serius hyung?!”

Hyunsuk menganggukkan kepalanya, “Iya.” Ucapnya lalu berjalan pergi.

Setelah kepergian Hyunsuk, Junkyu langsung menarik rambutnya frustasi. Bagaimana ini?? Dia belum membersihkan kamar asramanya ini!

Junkyu segera bangkit dari posisi duduknya lalu mulai merapihkan barang-barangnya.

“Astaga! Kamar ini seperti kapal pecah!” Dumal Junkyu saat ia menyadari bahwa kamarnya benar-benar kacau.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, Junkyu yang sedang menurunkan barang-barangnya dari ranjang atas langsung membeku. Apa itu roommate barunya? Bagaimana bisa secepat ini datangnya???!

Dengan langkah perlahan Junkyu berjalan mendekati pintu kamar asramanya. Jantungnya berdegup kencang karna gugup.

Junkyu membuka pintu asramanya, dan sedetik kemudian tubuhnya langsung mundur kebelakang beberapa langkah saat melihat sosok yang berdiri dihadapannya.

“Hah.. takdir macam apa ini?”

Tubuh Junkyu gemetar, wajahnya seketika berubah pucat pasi. Dihadapannya kini berdiri sosok yang telah menjadi mimpi buruknya. Sosok yang ingin hindari mati-matian.

“Pa-park Jihoon?”

“Kau benar-benar mau menemui bajingan itu lagi?!” Jihoon berteriak marah seraya menahan tangan Lia yang akan memasuki cafe.

Lia tersenyum tipis lalu secara perlahan melepaskan cengkraman Jihoon pada lengannya, “Aku hanya ingin tahu alasan kenapa dia memutuskanku Ji.”

Jihoon berdecih pelan, masih segar diingatannya saat Lia datang ke Apartemennya satu minggu yang lalu dengan keadaan sangat kacau karena ulah Jeno, kapten tim basket Sekolahnya yang tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungannya dengan Lia.

Jihoon tentu saja emosi bukan main, dirinya dan Lia sudah berteman sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar hingga sekarang. Melihat Lia yang menangis karena lelaki itu membuat Jihoon ingin sekali membabak-beluri Jeno jika Lia tidak menahannya.

“Kau yakin?”

Lia tertawa pelan, “Tentu saja, aku berjanji tidak akan menangis lagi.”

Melihat raut wajah Lia membuat Jihoon mau tak mau mengalah, “Oke, aku akan melihat dari jauh. Jadi, jika dia macam-macam aku bisa langsung menghajarnya.”

Lia membuat gestur setuju dengan tangannya lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe, diikuti Jihoon yang berjalan di belakangnya.

Jihoon mengambil tempat duduk yang tidak terlalu jauh dari Lia dan Jeno, agar ia bisa mendengar percakapan mereka.

“Ada apa kau ingin menemuiku?” Tanya Jeno dengan suara yang begitu tenang, membuat Jihoon yang mendengarnya merasa kesal.

Lia meremat jari tangannya gelisah, “Aku hanya ingin tahu kenapa kau tiba-tiba meminta putus dariku.”

Terlihat ekspresi pada wajah Jeno sedikit berubah, “Aku sudah tidak mencintaimu lagi. Bukannya aku sudah mengatakannya padamu?”

Jihoon yang duduk tak jauh dari sana mengepalkan tangannya erat. Bajingan gila, sepertinya lelaki itu memang minta dihajar.

Lia menganggukkan kepalanya pelan mengerti, “Pasti ada alasannya kenapa kau tiba-tiba tidak mencintaiku lagi.”

“Kau benar.” Balas Jeno cepat, membuat Lia langsung melebarkan matanya terkejut. “Aku sudah mencintai orang lain.”

Kaki Lia bergetar dibawah sana, wajahnya pucat karena tidak menyangka dengan apa yang ia dengar.

Jeno menghembuskan nafas berat melihat raut wajah mantan kekasihnya itu. Ia berdiri dan menatap Lia sedih, “Aku minta maaf karena membuatmu terluka. Tapi perasaanku ini bukanlah sesuatu yang bisa aku kendalikan, Lia.”

“Si-siapa? Siapa orang itu?”

Jeno yang baru saja akan melangkahkan kakinya pergi terhenti saat mendengar pertanyaan Lia, “Junkyu, Kim Junkyu.”

Lia kembali memasang raut wajah terkejut, “Kim Junkyu? Anggota klub basket yang sering kau ceritakan padaku?”

Jihoon mengernyitkan dahinya, Kim Junkyu? Bukannya itu nama laki-laki? Jeno memutuskan sahabatnya yang paling sempurna itu karena laki-laki?!

Jeno mengangguk, “Iya, dia. Kalau begitu aku pergi.”

Setelah kepergian Jeno, Lia hanya duduk mematung, dirinya benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

Jihoon menatap Lia dengan pandangan sedih. Dirinya telah berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga Lia, dan tidak akan membiarkan siapapun menyakiti gadis itu. Dan jika ada yang berani membuat Lia terluka, maka dirinya yang akan membalasnya.

Pada siapapun itu.


“Hahhhh... hahhh... hahhh...” Junkyu terbaring terlentang diatas lantai lapangan basket. Dadanya naik turun berusaha mengatur napasnya.

Hari ini ia berhasil melakukan 100 kali tembakan tiga angka, dengan 15 masuk dan sisanya gagal.

“Bukankah kau berlatih terlalu keras?”

Junkyu langsung bangun terduduk dan menolehkan kepalanya ke sumber suara, “Jeno?!”

Jeno tersenyum lalu berjalan menghampiri Junkyu, “Jangan sampai kelelahan. Latihan sewajarnya saja.” Ucap Jeno saat melihat kaos yang digunakan Junkyu sudah basah karena keringat.

Jeno mendudukkan dirinya disebelah Junkyu lalu menyodorkan sebotol air mineral, “Kenapa berlatih sampai selarut ini?” Tanya Jeno sambil menyeka keringat yang berada di dahi Junkyu mengenakan handuk yang ia bawa.

Junkyu tampak tercekat kaget menerima perlakuan dari Jeno, refleks lelaki manis itu memundurkan sedikit tubuhnya.

“Ah, aku bisa sendiri.” Junkyu mengambil handuk yang berada di tangan Jeno lalu menyeka sendiri keringatnya dengan cepat.

“Padahal aku sedang mencoba mencurahkan perhatianku padamu.” Ucap Jeno sambil mendesah kecewa.

“Huh?”

Jeno tertawa melihat ekspresi bingung Junkyu yang tampak sangat menggemaskan di matanya, “Bukan apa-apa? Omong-omong, kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa berlatih basket sampai larut malam?”

“Eh?” Junkyu mengecek jam yang melingkar di tangannya kemudian memasang ekspresi terkejut, “Sudah jam setengah 12 malam?!”

“Iya.”

Junkyu mengusap tengkuknya, “Aku tidak punya waktu untuk berlatih karena jadwal kuliah serta pekerjaan part-time ku. Jadi aku pikir untuk berlatih setelah semua pekerjaanku selesai.”

Jeno menganggukkan kepalanya mengerti, “Iya aku tahu, kau sudah minta izin padaku dua hari yang lalu. Tapi bukannya aku melarangmu untuk sampai selarut ini?”

Junkyu meringis, “Maaf, aku lupa waktu. Aku berpikir aku masih tertinggal jauh dari anggota tim lainnya. Apalagi dalam waktu dekat akan ada turnamen. Ya walaupun aku sampai sekarang belum pernah menjadi anggota inti.”

Jeno mengusak kepala Junkyu pelan, “Tidak masalah. Kau hebat, pasti suatu saat bisa menjadi anggota inti.”

Junkyu tersenyum, “Iya. Eh tapi omong-omong kenapa kau masih berada disini?”

Jeno mengerjabkan matanya beberapa kali mendengar pertanyaan Junkyu, “Ah! Ada barangku yang tertinggal di ruang klub, jadi aku kembali lagi. Lalu saat melihat lampu gedung olahraga menyala aku langsung kemari karena aku yakin kau belum pulang.” Jelas Jeno.

“Oh begitu..” Junkyu mengangguk-anggukkan kepalanya percaya. Membuat Jeno yang sedari tadi menahan napas menjadi lega.

Sejujurnya ia berbohong, dirinya memang sengaja menunggu bocah manis itu selesai latihan. Tapi sudah hampir tengah malam dia belum selesai-selesai juga.

“Apakah begitu berat?”

“Hm?” Junkyu menolehkan wajahnya menatap Jeno.

“Apakah pekerjaan paruh waktumu sangat berat?”

Junkyu menggelengkan kepalanya kuat sambil tertawa, “Tidak! Tentu saja tidak! Kenapa kau berpikiran begitu?”

“Wajahmu terlihat sangat lelah. Aku tidak suka melihatmu begitu.”

Junkyu langsung menyentuh wajahnya sendiri kemudian tersenyum tipis, “Aku hanya kurang istirahat.”

“Benar.” Jeno menjitak pelan kepala Junkyu, “Kau sangat kurang istirahat. Jadi sekarang lebih baik kau pulang ke asramamu lalu tidur, aku akan mengantarmu.”

“Eh tidak usah!” Pekik Junkyu panik.

“Sudah, ayo aku antar.”

“Yak!! Jeno!”

Jeno mengabaikan teriakan Junkyu, ia malah menarik lengan lelaki manis itu lalu menariknya pergi.

Mereka berdua terlalu sibuk dengan urusan sendiri sampai tidak menyadari jika ada sepasang mata yang mengawasi mereka sedari tadi.

“Ohh, jadi dia orangnya.”


“Junkyu!”

Junkyu yang tengah berjalan dengan wajah kuyu terlonjak kaget saat mendengar suara teriakan yang memanggil namanya dari belakang.

“Hyunsuk hyung! Kau mengagetkanku saja.” Singut Junkyu setelah melihat ternyata sahabat sekaligus hyungnya itulah yang berteriak.

“Hehe.” Hyunsuk yang sudah berjalan bersisihan dengan Junkyu merangkulkan tangannya pada lengan Junkyu.

“Kenapa wajah manismu kusut begitu?” Tanya Hyunsuk saat melihat raut muka Junkyu yang tampak begitu kelelahan.

“Siapa yang kau sebut manis huh? Aku ini laki-laki, mana ada lelaki manis!” Sembur Junkyu kesal.

Hyunsuk melepaskan rangkulannya, “Ada kok!”

“Mana?!”

“Kau.”

Junkyu langsung memasang wajah datar dan mengangkat tinjunya keatas, “Kau minta dipukul ya?”

Hyunsuk langsung tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kesal Junkyu, “Bercanda. Omong-omong mau kemana? Bukannya hari ini kau shift siang?”

“Jeno menyuruh seluruh anggota klub basket untuk berkumpul sebentar. Ada pengunguman katanya.”

“Oh begitu..”

Junkyu menolehkan kepalanya kesamping, “Kau sendiri mau kemana hyung?” Tanya Junkyu dengan nada heran saat melihat Hyunsuk masih saja berjalan disebelahnya.

“Mau mengantarmu ke ruangan klub basket.” Balas Hyunsuk dengan cengiran lebarnya.

“Nah, sekarang sudah sampai. Aku pergi dulu manis!” Hyunsuk mengecup pipi Junkyu singkat lalu segera melarikan diri.

“Yak Choi Nyunsuk!!” Pekik Junkyu emosi. Lihat saja nanti akan dia adukan lelaki cebol itu pada Ryujin.

Junkyu berjalan memasuki ruang klub basket. Ternyata disana seluruh anggota tim sudah datang.

“Kapten! Itu Junkyu Sunbae sudah datang.”

Jeno yang sedang mengobrol dengan Yeonjun mengalihkan pandangan kearah Junkyu yang kini tengah berdiri dengan raut wajah canggung karena seluruh anggota tim menatapnya.

“Oke! Karena semua sudah lengkap mari kita mulai saja.”

Junkyu mendudukkan dirinya disamping Yoshi, “Darimana saja kau? Kenapa terlambat.” Bisik Yoshi pelan.

“Tadi dijalan aku direcoki Hyunsuk hyung.” Balas Junkyu.

“Oh! Si manis itu?”

Junkyu mengerutkan wajahnya jijik. Apakah sekarang sudah menjadi hal yang wajar menyebut sesama lelaki manis? Junkyu tidak habis pikir.

“Jadi, karena semua sudah lengkap aku akan langsung saja. Aku meminta kalian semua berkumpul sekarang karena aku ingin mengumumkan anggota inti klub basket SMA TREASURE untuk turnamen musim panas bulan depan.”

Seluruh anggota klub langsung berbisik-bisik setelah mendengar perkataan Jeno, kapten tim basket SMA TREASURE.

“Setelah berunding dengan pelatih, aku sudah menetapkan 5 anggota inti.”

“Empat lagi kapten, kau kan pasti masuk.” Ucap Jaemin sambil tertawa.

“Ah benar juga.” Jeno tertawa.

“Berarti aku akan mengumumkan 4 anggota lagi.”

Jeno mengambil spidol lalu menuliskan nama dari keempat orang itu.

Junkyu menyipitkan matanya, sedikit banyak dirinya berharap jika namanya Jeno tulis. Aish, tapi mana mungkin juga.

“Nah, ini dia keempat anggota inti tim basket kita yang akan bertanding di turnamen musim panas.”

Junkyu menatap ke arah papan tulis.

Yang pertama, Na Jaemin.

Lalu Yoshinori.

Kemudian Yoon Jaehyuk.

Dan yang terakhir... Park Jihoon?

Junkyu mengernyitkan dahinya melihat nama asing untuknya yang secara ajaib bertengger pada daftar nama anggota tim inti.

“Siapa Park Jihoon?”

Bukan hanya Junkyu, ternyata seluruh anggota tim langsung heboh melihat daftar nama itu.

“Kapten? Siapa Park Jihoon?” Tanya Jaehyuk.

“Iya, tidak ada anggota klub basket yang bernama Park Jihoon.” Timpal Beomgyu.

Jeno tersenyum tipis menanggapi pertanyaan anggota klubnya yang tampak bingung.

“Ah tentu saja kalian tidak kenal. Dia baru saja bergabung dengan tim basket pagi ini.”

Seluruh anggota klub yang berada di ruangan refleks menganga mendengar perkataan Jeno.

“Bagaimana bisa orang yang baru masuk jadi anggota tim inti?! Yang benar saja Kapten!” Protes Jaemin.

“Iya Kapten! Tidak masuk akal!”

Yeonjun tampak biasa saja mendengar protesan dari anggotanya. “Kalian tidak tahu Park Jihoon?”

Seluruh anggota klub basket menggeleng.

Jeno menghela napas, “Astaga padahal kita satu sekolah dengannya. Tapi jika kalian tidak tahu Park Jihoon, pasti kalian tahu Kyusan juniorhighschool yang menjurai turnamen bola basket nasional antar SMP?”

Jeno tersenyum melihat anggotanya mengangguk.

“Park Jihoon, merupakan Kapten dari tim basket Kyusan yang memenangkan turnamen itu.”

“HAH???!”

“Jika dia Kapten Kyusan pada turnamen itu, berarti dia adalah sunbae kita? Alias seangkatan dengan Jeno hyung, alias GILA APA YA KOK DIA BARU BERGABUNG SEKARANG TIDAK DARI DULU SAJA?!” pekik Jaehyuk heboh.

“Sekarang kalian sudah tahu siapa Park Jihoon bukan? Jadi kalian tidak perlu mempertanyakan keputusan memasukkannya ke dalam tim inti.” Ucap Noa.

“Tapi kenapa Jihoon sunbae tidak hadir?” Tanya Beomgyu.

“Jihoon berhalangan hadir, jadi- eh Jihoon?!” Jeno memasang ekspresi terkejut melihat Jihoon yang muncul dari balik pintu klub.

Seluruh anggota klub langsung menolehkan kepalanya ke arah pintu.

Jihoon hanya diam. Wajahnya datar dengan ekspresi seperti orang marah.

Junkyu mengernyitkan keningnya heran, jujur ia belum pernah melihat lelaki itu selama berkuliah di Universitas ini.

Jihoon mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan klub, dan saat matanya dan mata Junkyu bertemu pandang secara tidak sengaja, Jihoon menampilkan seringaian kecil, “Gotcha.”

Haruto kembali ke ruang makan dengan raut wajah yang tampak tenang dan percaya diri, membuat Junghwan yakin jika hyungnya itulah yang memenangkan pertempuran.

Hanbin yang melihat sang anak datang hanya seorang diri mengerutkan dahinya, “Mana Ibumu?”

“Dia tidak akan melanjutkan makan lagi. Dia sedang berdiet.” Balas Haruto enteng.

“Pasti Ibu kalah!” Celetuk Junghwan dengan raut wajah puas yang langsung dihadiahi delikan gemas oleh sang Ayah.

Junkyu menatap Haruto yang sudah duduk tenang di sebelahnya sembari melanjutkan makannya, “Kau tidak menyekap ibumu didalam kamar kan?” Bisik Junkyu.

“Tentu saja tidak.”

Junkyu menganggukkan kepalanya mengerti lalu melanjutkan makannya.

Setelah acara makan malam tanpa Lisa, Haruto mengajak Junkyu untuk berkeliling rumahnya.

“Rumahmu besar sekali, kakiku sampai lelah.” Keluh Junkyu.

Haruto menoleh sekilas, “Kau harus terbiasa.”

Junkyu mengerutkan dahinya, “Apa maksudmu?”

Haruto tidak menjawab pertanyaan Junkyu, ia malah membawa Junkyu masuk ke dalam kamarnya.

“Kau tunggu disini, aku akan mandi lalu mengantarkanmu pulang.”

Junkyu hanya mengangguk saja mendengar perkataan Haruto, fokusnya kini telah terpusat pada begitu mewahnya kamar milik bocah kaya itu.

Junkyu tidak bisa berhenti takjub sama sekali.

“Benar-benar anak sultan.” Junkyu mendudukkan dirinya diatas ranjang Haruto.

“Omo! Ranjangnya lembut sekali!” Junkyu membaringkan tubuhnya diatas ranjang milik Haruto. Dengan ranjang selembut ini, Junkyu yakin dirinya bisa tidur selama 24 jam.

Karena ranjang Haruto yang begitu nyaman ini, tanpa sadar Junkyu malah tertidur.

Haruto keluar dari dalam kamar mandi dan berdecak melihat Junkyu sudah terlentang tidak sadarkan diri.

Haruto memakai pakaiannya lalu berjalan mendekati Junkyu. “Anak miskin ini..” gumam Haruto pelan lalu mendudukkan dirinya diatas ranjang tepat disamping Junkyu.

Tanpa sadar, tangan kanan Haruto terangkat hendak menyentuh wajah Junkyu.

“Apa yang aku lakukan!” Haruto memukul tangan kanannya lalu mengusap wajahnya keras.

Tiba-tiba saja ia merasa diingatkan pada saat ia pertama kali melihat Junkyu.

Saat itu ia hendak membeli kopi di cafe yang berada di dekat sekolahnya, dan saat ia memasuki cafe itu, Haruto disambut dengan pekikan luar biasa dari seorang pria manis yang tengah beradu mulut dengan seorang pelanggan.

“Jika kau meminta krim exstra sebanyak itu kau hari membayar biaya tambahan!”

“Bagaimana bisa?! Ditempat lain tidak!” Balas pelanggan itu sengit. “Lagipula pembeli adalah raja!”

Ekspresi pemuda manis itu semakin berang sedangkan rekannya mencoba menenangkannya, “Jika pembeli adalah raja, makan penjual adalah dewa! Jangan semena-mena karena punya uang ya!”

Haruto tanpa sadar tertawa kecil melihat pemuda manis itu, dan semenjak pertemuan yang hanya Haruto yang menyadarinya, mereka berdua kembali bertemu.

Karena penasaran, Haruto memerintahkan ajudannya untuk mencari tahu semuanya tentang pemuda manis itu, dari nama, latar belakang, sampai tempat tinggal. Dan setelah mengetahuinya, Haruto menjadi semakin tertarik.

Dan pada akhirnya Haruto mengambil ide gila, menjadikan Junkyu kekasihnya untuk membuat lelaki manis itu selalu ada disisinya, sekaligus menghentikkan kelakuan Ibunya yang bersikeras menjodohkan dirinya dengan putri dari kolega keluarganya.

Haruto merasa ia bisa mencapai dua tujuan besar itu dalam sekali mendayung.

Haruto menghela nafas pelan, “Kau harus terus berada di sisiku Kim Junkyu. Apapun yang terjadi.”


Junkyu membuka matanya secara perlahan, tidur nyenyaknya terusik saat ia merasa sangat sesak dan kesulitan bernafas.

“Ugh!” Junkyu mencoba menggerakkan tubuhnya sedikit, tapi tidak bisa.

Dahi Junkyu mengernyit, dan setelah kesadarannya penuh, matanya langsung melotot saat menyadari jika Haruto tengah memeluk tubuhnya erat.

“Apa yang bocah ini lakukan?!” Pekik Junkyu seraya memukul-mukul dada bocah itu agar melepaskan pelukannya, “Yak lepaskan!!”

Haruto sama sekali tidak bergeming, ia malah mendorong kepala Junkyu agar bersandar di dadanya, membuat tubuh Junkyu seketika menegang.

“Diamlah. Biarkan aku tidur.”

Junkyu mengerjabkan matanya beberapa kali, jantungnya berdegup kencang dan wajahnya terasa begitu panas.

“A-aku akan diam.. tapi bisakah kau tidak memelukku seerat ini? Aku rasa aku akan segera mati karna kehabisan nafas.” Cicit Junkyu pelan.

Haruto membuka matanya lalu melonggarkan pelukannya. Ia menarik wajah Junkyu agar mendongak menatap wajahnya.

“Apa kau selalu secantik ini?”

Junkyu seketika memasang ekspresi bingung mendengar ucapan Haruto yang terdengar sangat aneh dan random seperti itu.

Junkyu mengangkat sebelah tangannya lalu menyentuh dahi Haruto, “Kau sakit?”

Haruto tidak menanggapi perkataan Junkyu, paras junkyu lebih menarik untuk diperhatikan ketimbang pertanyaan tidak bermutu yang lelaki manis itu lontarkan.

“Y-yak! Apa yang ingin kau lakukan?!”

Junkyu memekik panik saat Haruto tiba-tiba saja memajukan wajahnya.

Junkyu membelalakkan matanya, pasti bocah ini sedang tidak waras.

“Kau cantik sekali.”

Haruto terus meracau tidak jelas, membuat Junkyu semakin kebingungan.

Tiba-tiba saja, Haruto mengecup kening Junkyu. Membuat lelaki manis itu terkejut bukan main.

Tangan Junkyu menggantung di udara, ia tak tahu harus bagaimana. Matanya terbelalak karena terlalu kaget dengan perbuatan Haruto yang tiba-tiba.

Haruto menangkup kedua sisi wajah Junkyu, ia menatap wajah Junkyu yang sudah memerah parah lalu mengulas senyum kecil, “Kerja bagus hari ini. Terimakasih Junkyu.”

Junkyu menyeka bulir keringat yang tak berhenti mengucur dari keningnya, wajahnya pucat pasi.

Dengan langkah gemetar Junkyu memasuki perusahaan Pillatepark yang luar biasa besar, meski masih kalah besar dari kantor perusahaannya.

Junkyu yang awalnya ingin berjalan ke resepsionis mendadak menghentikan langkahnya, “Ada yang salah.” Junkyu menangkup wajahnya sendiri gusar, “Tidak seharusnya aku disini.”

“Kau sudah berdiri disini, bocah idiot.”

Junkyu terlonjak kaget saat mendengar suara dengan nada mengejek tapi tajam dari arah belakangnya. Ia segera berbalik dan membelalakkan matanya lebar ketika melihat Park Jihoon, Presdir Pillatepark Corporation sudah berdiri dibelakangnya dengan dua orang yang Junkyu bisa tebak merupakan sekretaris dan juga tangan kanan lelaki beraroma citrus dan menthol itu.

“S-sir Jihoon.” Junkyu memundurkan tubuhnya lalu menundukkan sedikit badannya memberi salam.

Jihoon hanya menatap Junkyu datar, “Ayo ikut aku.” Jihoon berjalan mendahului Junkyu, dengan wajah panik Junkyu berjalan cepat mengikuti.

“Aku akan bicara penting dengan bocah ini. Pastikan jangan ada yang mengganggu.”

“Ya, Sir.”

Jihoon menolehkan kepalanya kearah Junkyu yang berdiri kaku, “Ayo masuk.”

Junkyu menganggukkan kepalanya patah-patah lalu berjalan masuk ke dalam ruangan yang bisa Junkyu ketahui merupakan ruangan pribadi Jihoon.

Aroma citrus dan menthol yang kuat langsung menyapa indera penciuman Junkyu sesaat setelah memasuki ruangan tersebut.

“Duduklah.” Jihoon menujuk ke arah sofa besar yang ada di ruangan itu, sedangkan dirinya sendiri duduk di kursinya.

Dengan gerakan takut-takut, Junkyu menjatuhkan bokongnya ke atas sofa. Pandangan waspada ia layangkan pada Jihoon yang kini tengah membaca resume miliknya.

“Kim Junkyu. Laki-laki, usia 23 tahun.” Jihoon membaca resume milik Junkyu dengan suara keras seakan-akan sengaja agar Junkyu bisa mendengarnya, “Benar-benar bocah.”

Junkyu menatap ke arah Jihoon dengan kerutan tak suka di wajahnya.

“Well.. seperti yang kau tahu, mulai hari ini kau bekerja di disini.”

“Iya, Sir. Tapi kalau boleh tahu, saya akan bekerja pada divisi apa?”

“Ingat apa yang Bos-mu katakan?” Jihoon memainkan pena yang ada ditangannya, matanya terus menatap ke arah yang lebih muda penuh minta.

“Mr. Jung berkata, saya akan berkerja langsung dibawah pengawasan Presdir Pillatepark.”

“Nah kau sudah tahu.”

Junkyu mengernyit tidak mengerti. “Jadi, Sir?”

“Kau akan bekerja langsung dibawahku, bukan dibawah kungkunganku, itu nanti. Dengan kata lain sekarang kau adalah asisten pribadiku.”

Jihoon menaikkan dagunya congkak lalu menatap kearah Junkyu yang kini tengah memasang raut wajah super kagetnya.

“A-apa?!”

“Selama kau bekerja di Pillatepark, aku akan memberi pelajaran kepada bocah tengik sepertimu.”

Jihoon mengambil telepon wireless yang ada di atas mejanya lalu menekan beberapa angka disana, “Somi, masuklah.”

Tidak sampai satu menit, masuklah sesosok gadis yang tadi Junkyu lihat datang bersama Jihoon. Gadis itu memakai setelan yang pas di tubuhnya dengan tatanan rambut cepol ala pramugari.

“Ada yang bisa saya bantu, Sir?”

“Berikan salinan jadwalku padanya.”

Junkyu masih dalam mode terkejut hanya bisa mengerjabkan matanya beberapa kali tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“Baik, Sir.”

Gadis bernama Somi itu membungkukkan tubuhnya lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan.

“Setelah kau mendapatkan jadwalku, pastikan kau pelajari dan amati baik-baik. Aku tidak suka keterlambatan.”

Melihat Junkyu yang hanya diam saja seraya menatap kearahnya dengan pandangan bertanya-tanya membuat Jihoon berdecih, “Kau mengerti tidak bocah?”

Junkyu memiringkan kepalanya sedikit lalu menggeleng, “T-tidak, Sir. Kenapa saya harus mempelajari jadwalmu?” Tanya Junkyu.

“Tentu saja karena kau akan ikut kemanapun aku pergi mulai sekarang.” Balas Jihoon enteng.

Junkyu seketika melotot selebar-lebarnya. Tunggu, ini tidak benar. Seharusnya dia hanya mengurus masalah kerjasama antara Pillatepark dan Artech. Kenapa sekarang malah menjadi asisten om-om Byuntae itu?!

“Tunggu!” Junkyu berdiri dan menatap Jihoon dengan tatapan protes, “Saya berada disini untuk mengurusi kerja sama antara Pillatepark dan Artech?”

“Yah, tentu. Itu juga pekerjaanmu. “

“Lalu apa maksudnya ini, Sir?” Pekik Junkyu.

Jihoon menghendikkan bahunya singkat, “Bukannya Bos-mu bilang kalau kau akan bekerja langsung dibawahku?”

Junkyu mengangguk.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

“JADI MAKSUDNYA SAYA MENJADI ASISTENMU, SIR?!”

“Ya. Benar sekali.” Jihoon bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri Junkyu.

Melihat Jihoon mendekat, alarm bahaya di kepala Junkyu langsung berbunyi nyaring. Dengan perlahan Junkyu memundurkan langkahnya setiap kali Jihoon memangkas jarak diantara mereka.

Junkyu terus mundur sampai tubuhnya membentur tembok.

“Ugh!”

Jihoon berhenti tepat beberapa inchi dari tubuh Junkyu. Dari jarak sedekat itu, Junkyu bisa melihat ketampanan Jihoon serta aroma menthol yang begitu dingin dan kuat.

Jihoon menatap kearah ID card yang menggantung di leher Junkyu.

“Kau tidak membutuhkan ini sementara waktu.” Jihoon melepas ID Card dari Junkyu dengan sekali tarik. Membuat mata Junkyu melebar.

“Sir!”

Degupan jantung Junkyu semakin menggila saat tubuh tegap Jihoon hampir menempel padanya.

“J-jangan!”

“Jangan?” Memasang wajah bosan, Jihoon mengelus pipi kanan Junkyu dengan gerakan lambat, “Memangnya apa yang akan aku lakukan padamu?”

“Tidak! Saya-”

“Apa, hm?”

Tangan Jihoon turun ke leher jenjang Junkyu, meraba pelan membuat bulu kuduk Junkyu meremang.

“Saya masih normal, Sir!”

Jihoon tidak bisa menahan tawanya saat mendengar perkataa Junkyu, “Well... kau kira aku tidak normal? Begitu?”

Tangan Jihoon kini bergerak melepas dasi yang bertengger manis pada Leher Junkyu, lalu melepas tiga kancing teratas.

Syok, tak berkutik. Mimpi buruknya akan terulang kembali.

Jihoon memajukan wajahnya lalu membenamkannya pada ceruk leher Junkyu.

Jilat, hisap, kulum. Junkyu hilang akal.

Tubuhnya lemas tapi gemetar seperti parutan kelapa.

“Akh! Hentikan, Sir!”

Junkyu mencoba mendorong Jihoon, tapi dibalas dengan gigitan kuat pada sisi tengkuknya.

Junkyu menjerit tertahan.

Jihoon mengangkat wajahnya, lalu berdecih melihat wajah Junkyu yang memerah dan penuh keringat. “Lihatlah bagaimana wajahmu sekarang bocah normal. Baru ku hisap lehermu, belum belalai gajah kecilmu yang kuhisap.” Ucap Jihoon dengan nada suara mencibir

Nafas Junkyu terengah, membuat yang lebih tua tersenyum sinis.

Jihoon mendekatkan wajahnya pada telinga Junkyu, menjilat pelan lalu berbisik, “Camkan, sekarang kau bukan karyawan Artech lagi. Tapi Pillatepark Corporation. Mengerti kau, bocah?”

“Junkyu! Aku akan merindukanmu!”

Junkyu terbatuk saat tubuhnya di peluk dengan erat oleh Yujin, salah satu teman kerjanya.

Gadis jangkung itu melepaskan pelukannya lalu menangkup kedua sisi wajah Junkyu, “Bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpamu?! Siapa yang akan membelikanku pembalut jika aku datang bulan mendadak?”

Junkyu melepaskan tangkupan tangan Yujin pada wajahnya, “Beli sendiri sialan.”

“Jaga kesehatan, semoga semuanya berjalan lancar.”

Junkyu menolehkan kepalanya kesamping dan sedikit terkejut saat Yeji tiba-tiba menyodorkan sebuah paper bag padanya. Junkyu mengambil paper bag itu, mengintip isinya kemudian kembali menatap Yeji heran, “Apa ini?”

Yeji memalingkan wajahnya, “Obat herbal. Kau itu sakit-sakitan. Disana kau tidak ada kenalan jadi bawa ini untuk jaga-jaga.”

“Ahh begitu, terimakasih.” Junkyu mengusak pelan kepala Yeji, membuat gadis itu langsung mendelik dengan wajah memerah.

“Yak!” Protes Yeji tidak terima.

Junkyu tertawa kecil, sedangkan Yujin yang melihat tersenyum-senyum sendiri, “Cie.”

Junkyu menundukkan tubuhnya mengambil box yang sudah berisi barang-barangnya, hari ini adalah hari terakhir ia bekerja di Artech.

“Aku akan merindukanmu sobat.” Yoshi menepuk pelan pundak Junkyu seraya tersenyum tenang, “Jaga sikap, jangan asal maki-maki orang sembarangan.”

Junkyu meringis pelan mendengar wejangan dari Yoshi, “Tentu saja.”

“Huaa Junkyu jangan pergi!” Pekik Yujin yang kini sudah beruarai air mata.

Yeji menggeplak kepala Yujin pelan, “Hanya sementara bodoh.”

“Sehari tanpa Junkyu bagaikan 24 jam! Aku tak akan sanggup!” Ujar Yujin dramatis.

“Aku akan segera kembali ke Artech. Kalian jaga kesehatan. Sampai jumpa.”

Junkyu melambaikan tangannya lalu berbalik pergi, meninggalkan 3Y alias Yujin, Yeji, dan Yoshi yang hanya bisa memandangi punggung sempit Junkyu yang sudah menghilang dari balik pintu dengan pandangan sendu.

Yoshi menghela napas, “Ah.. aku juga akan pulang.” Yoshi menoleh ke arah Yeji yang ada disebelahnya, “Mau pulang bareng?”

Yeji mengernyit jijik, “Tidak sudi.”

Yoshi mendengus, “Yasudah, aku pulang. Bye ciwi-ciwi..”

Setelah kepergian Yoshi, Yujin menyenggol lengan Yeji pelan, “Kalau kau suka dengan Junkyu, katakan saja.”

Yeji langsung melotot mendengar perkataan Yujin, “Aku tidak suka padanya!”

Yujin mengibaskan tangannya pelan, “Ah kau itu denial.”

“Apa itu?”

“Denial lho... Tsundere.”

“Apa lagi itu?!”

Yujin mencebikkan bibirnya sebal, “Terserah! Junkyu diambil orang baru tahu rasa.”

“Yak!”

Yujin mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu, sebelum keluar Yujin melambaikan tangannya diudara, “Jangan sampai menyesal ya!”

Yeji menghela napas kasar lalu memegang kedua sisi pipinya yang terasa panas.

“Mana mungkin aku punya keberanian untuk mengatakan perasaanku pada Junkyu.” Gumam Yeji pelan.

“Aku ini memang forever loser.”