“Ahh sial!”
Jihoon membanting jurnalnya ke atas meja. Ia mengusap wajahnya kasar lalu mendesah pelan. Dirinya benar-benar tidak fokus pada kuliahnya kali ini, pikirannya terpusat pada apa yang telah ia lakukan tadi malam.
Jihoon tidak habis pikir pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang telah ia lakukan? Kenapa dirinya sampai berbuat hal tidak bermoral seperti itu kepada Kim Junkyu? Apa dirinya begitu marah hingga lepas kendali? Tapi mengapa ia melakukan itu?
Masih sangat jelas di ingatannya bagaimana wajah Junkyu yang memerah dan berlinang air mata saat dirinya sentuh. Serta sorot mata lelaki itu yang begitu penuh kebencian yang di tujukan kepadanya.
Park Jihoon, apa yang telah kau lakukan?
“Hey, kau oke? Ada masalah?” Tanya Hyunjin yang duduk disebelahnya.
Jihoon menolehkan kepalanya ke arah Hyunjin lalu mengibaskan tangannya pelan, “Tidak ada.”
Hyunjin memicingkan matanya curiga, dirinya dan Jihoon telah berteman sejak duduk dibangku menengah atas, tentu saja ia bisa merasakan jika ada yang tidak beres dengan temannya satu ini.
“Lia lagi?”
Jihoon tertawa kecil lalu menggeleng, “Tidak, dia baik-baik saja.”
Raut wajah Hyunjin semakin mengkerut aneh, “Lalu? Kau hanya seperti ini jika ada masalah berat. Kalau bukan tentang Lia sahabat tersayangmu, lalu masalah apa?”
“Aku bilang tidak ada. Berhenti memikirkan hal yang tidak perlu.” Jihoon meletakkan kepalanya di atas meja lalu menutup matanya.
“Baiklah.”
“Oh iya, ” Hyunjin menepuk pelan pundak Jihoon, membuat lelaki Park itu menoleh, “Kau jadi pindah ke asrama?” Tanya Hyunjin.
Jihoon menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“Kenapa?” Hyunjin menampilkan raut wajah bingung, “Bukannya kau sudah punya apartemen?”
“Aku masuk tim inti klub basket, mau tidak mau aku harus tinggal di asrama agar bisa latihan maksimal.” Jihoon menghela napas kasar.
“Kenapa aku masuk tim basket ya?” Gumam Jihoon.
Hyunjin memutar bola matanya malas, “Itu yang jadi pertanyaanku, kenapa kau tiba-tiba masuk tim basket. Padahal dulu kau sudah bilang tidak mau main basket lagi.”
Jihoon tersenyum masam, “Entahlah, aku juga tidak tahu.”
Hyunjin berdecih pelan, “Dasar. Jadi kapan kau akan pindah?”
Jihoon tampak memasang raut wajah berpikir, “Mungkin besok.”
“Aku harap kau betah.” Ucap Hyunjin.
“Aku bisa kabur jika tidak betah.” Balas Jihoon enteng.
“Aku adukan Lia.”
“Kau ingin mati?”
Hyunjin tertawa, “Bercanda.”
Tiba-tiba saja Jihoon bangkit dari duduknya, membuat Hyunjin mengernyit, “Mau kemana?”
“Menemui Lia.” Jawab Jihoon lalu langsung berjalan pergi begitu saja.
Hyunjin yang melihat kepergian Jihoon hanya bisa menggelengkan kepalanya prihatin, “Sampai kapan kau akan bersikap seperti itu Park Jihoon?”
Sementara itu dilain tempat, Hyunsuk menggedor pintu kamar asrama Junkyu dengan keras tapi tidak ada jawaban, “Kyu! Kim Junkyu! Buka pintunya! Biarkan hyung masuk! Kau tidak apa-apa??”
Asahi yang berdiri di sebelah Hyunsuk menghela napas pelan, “Aku khawatir padanya, dia tidak pernah seperti ini.”
Hyunsuk menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Asahi. Junkyu tidak pernah mengurung dirinya sendiri di dalam kamar asrama. Jika ada yang terjadi, pasti dia akan bercerita kepadanya, Yedam, atau Asahi. Tapi kali ini anak itu benar-benar menutup diri, bahkan membalas pesannya saja tidak.
“Apa terjadi sesuatu padanya?” Lirih Hyunsuk pelan.
Asahi melirik pada jam yang melingkar di tangannya, “Aku piket pagi ini hyung, lebih baik kita biarkan Junkyu sendiri lebih dulu, mungkin dia sedang ingin sendiri. Nanti malam kita kesini lagi.”
“Baiklah. Aku akan bilang pada Gon hyung kalau Junkyu izin untuk sementara.” Ucap Hyunsuk.
“Kalau begitu ayo kita pergi.” Ajak Asahi.
Sebelum pergi, Hyunsuk menatap pintu kamar Junkyu untuk terakhir kali, “Ku harap dia baik-baik saja.” Lirih Hyunsuk lalu segera berjalan menyusul Asahi yang sudah pergi terlebih dahulu.
Di dalam kamar asaramanya, Junkyu meringkuk di atas ranjangnya. Matanya sembab, wajahnya pucat karena menangis dan terjaga semalaman. Junkyu bangkit dari tempat tidurnya secara perlahan. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamar mandi.
Junkyu menatap pantulan wajahnya yang tampak begitu menyedihkan di cermin, lalu tanpa ia sadar setetes air mata kembali jatuh di pipinya.
Junkyu tersenyum pahit lalu mengusap air matanya, “Dia benar. Aku lemah, aku seperti perempuan.”
Tubuh Junkyu merosot di kebawah dan jatuh terduduk di lantai. Hatinya sakit, harga dirinya terluka. Kejadian yang tampak seperti mimpi buruk itu terus berputar otomatis di dalam kepalanya. Bagaimana ia dilecehkan secara fisik maupun mental.
Dirinya tidak mengerti kesalahan apa yang ia perbuat kepada Jihoon sehingga lelaki itu melakukan hal sekejam itu kepadanya. Apa yang telah ia lakukan? Junkyu tidak mengerti, Junkyu tidak paham.
“Hah aku lelah!” Jaemin berjalan kepinggir lapangan lalu mendudukkan dirinya disebelah Jihoon. Lelaki Na itu melirik kearah Jihoon yang sedang asik memainkan ponselnya alih-alih berlatih seperti anggota klub basket lainnya.
“Pemain genius sepertimu memang beda ya.” Ucap Jaemin seraya menghela nafas.
Jihoon melirik ke arah Jaemin lalu menghendikkan bahunya singkat, membuat Jaemin berdecih sebal.
“Lihat itu, bahkan kapten juga tidak ikut latihan.” Jaemin menunjuk kearah Jeno yang sedang berdiri di depan pintu ruangan lapangan basket seraya memasang raut wajah cemas.
Jihoon mengikuti arah pandang Jaemin, “Kenapa dia?”
“Dia pasti menunggu Junkyu.” Balas Jaemin sambil bersedekap dada.
Jihoon langsung menaikkan sebelah alisnya mendengar perkataan Jaemin, “Menunggu siapa?”
“Junkyu.” Jaemin sedikit memiringkan kepalanya, “Dia itu anggota kesayangannya kapten.” Lanjutnya.
“Benarkah?” Jihoon tertawa sinis. Mereka berdua memang sialan. Baik Jeno, maupun Kim Junkyu.
“Kapten selalu mengkhawatirkannya padahal Junkyu tidak kenapa-kenapa. Kalau sedang dikelas saja dia selalu membicarakan Junkyu. Ya memang sih, Junkyu itu sangat imut dan manis untuk ukuran lelaki. Aku saja kadang gemas sampai tidak sadar menggigit pipinya.” Ucap Jaemin sambil tertawa.
Jihoon tidak menanggapi perkataan Jaemin dan memutuskan untuk bangkit berdiri dan ikut berlatih seperti anggota klub lainnya.
Jeno terus berjalan mondar-mandir seraya memasang raut wajah gelisah. Sesekali lelaki itu melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah telat 25 menit, Junkyu tidak pernah setelat ini.
Jika lelaki manis itu ada urusan mendadak, pasti dia menghubunginya, tapi kali ini tidak sama sekali. Bahkan ponselnya saja tidak aktif. Jeno takut terjadi hal buruk pada Junkyu.
“Jeno.”
Jeno yang sedang mencoba menghubungi ponsel Junkyu mengangkat wajahnya saat mendengar namanya dipanggil. Lalu setelah tahu siapa orang yang memanggilnya, ekspresi Jeno seketika berubah menjadi lega.
“Kim Junkyu.”
Junkyu tersenyum tipis lalu berjalan mendekati Jeno, “Aku ingin memberikan ini.” Junkyu menyodorkan sebuah paper bag berwarna coklat muda kepada Jeno.
Jenp mengernyitkan dahinya bingung, “Apa ini?”
“Sepatu basket yang kau berikan padaku musim panas kemarin.”
Mata Jeno langsung melebar mendengar perkataan Junkyu, “Kenapa kau mengembalikannya? Ini hadiah untukmu.”
Junkyu menundukkan wajahnya seraya menggeleng pelan, “Aku..” telapak tangan Junkyu terkepal erat berusaha menahan semua emosi yang menekan dadanya.
“Junkyu?” Jeno meraih sebelah tangan Junkyu lalu menggenggamnya erat, “Kau baik-baik saja? Kau sakit? Katakan pada-”
“Aku ingin berhenti bermain basket.”
Genggaman tangan Jeno seketika langsung terlepas begitu saja. Matanya menatap Junkyu dengan tatapan tidak percaya.
“Apa kau bilang?”
Junkyu mengangkat wajahnya lalu menatap Jeno dengan pandangan tegas, “Aku ingin berhenti bermain basket.”
“Jangan main-main Kim Junkyu? Kenapa tiba-tiba kau ingin berhenti?!”
“Tidak, ini tidak tiba-tiba. Aku sudah memikirnya sejak lama, aku tidak bisa bermain basket. Mau seberapa sukanya diriku pada basket, aku tetap tidak bisa.” Suara Junkyu mulai bergetar, “Sampai kapanpun aku tidak akan bisa mengejar yang lainnya. Jaemin, Yoshi, Jaehyuk, ataupun dirimu. Hal itu hanya membuatku frustasi. Aku tidak bisa menahannya lagi.”
“KIM JUNKYU!” Bentak Jeno keras. Membuat seluruh orang yang ada dilapangan itu langsung menghentikan kegiatan mereka, termasuk Jihoon yang langsung menatap ke arah Jeno dan Junkyu.
Junkyu merasa dadanya semakin sesak, kepalanya mulai terasa pusing dan ia merasa akan segera meledak, “Aku permisi. Terimakasih untuk selama ini.” Junkyu membungkukkan tubuhnya dihadapan Jeno lalu berbalik pergi.
“JUNKYU!” Jeno membanting paper bag yang Junkyu berikan dan langsung mengejar Junkyu yang telah pergi begitu saja.
Para anggota klub langsung berbisik-bisik melihat apa yang terjadi barusan.
“Apa yang terjadi?” Bisik Jaemin kepada Yoshi.
Yoshi menggelengkan kepalanya, “Aku tidak pernah melihat kapten semarah itu.” Balas Yoshi.
“Aku juga.”
Jihoon tertawa kecil, semuanya semakin menarik saja.
Junkyu hanya bisa menangis sesegukan seraya menceritakan bahwa ia keluar dari klub basket kepada Hyunsuk dan Asahi yang ada di samping kiri dan kanannya.
Seperti apa yang mereka berdua katakan, mereka kembali lagi ke kamar asrama Junkyu. Beruntung Junkyu mau membukakan pintu dan mengizinkan mereka berdua masuk.
Junkyu tentu saja tidak menceritakan semuanya, tidak mungkin dia mengatakan kepada Hyunsuk dan Asahi jika alasan sebenarnya ia keluar dari klub basket karena Park Jihoon, lelaki yang membencinya dan sudah melecehkannya. Junkyu terlalu takut untuk memberi tahu kedua sahabatnya itu.
“Kau membuat kami berdua khawatir?” Hyunsuk mengusap pelan kepala Junkyu dengan sayang. Membuat yang lebih muda memejamkan matanya nyaman.
Plak!
“Aduh!!”
Junkyu mengaduh kesakitan saat tiba-tiba kepalanya digeplak dengan keras.
“Kenapa memukulku sialan??! Aku sedang sedih!” Sembur Junkyu seraya memelototkan matanya garang kepada Asahi.
“K-kau!–”
Junkyu dan Hyunsuk langsung memasang wajah panik saat mendengar suara Asahi yang gemetar.
“Kenapa menangis??!” Tanya Junkyu panik saat melihat Asahi mulai menitikkan air mata.
“Aku kira ada sesuatu yang terjadi padamu. Aku takut sekali.” Jawab Asahi sambil menghapus air matanya.
“Aaaa maafkan aku!” Junkyu segera merengkuh Asahi ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.
Hyunsuk tersenyum melihat kedua sahabatnya berpelukan seraya menangis seperti itu. Hyunsuk sangat paham, walaupun Asahi terlihat dingin dan acuh pada sekitarnya, tetapi dia adalah orang yang sangat peka dan perhatian. Hyunsuk yakin pasti seharian ini Asahi tidak fokus pada belajarnya karena memikirkan Junkyu.
Asahi melepaskan pelukannya pada Junkyu lalu menangkup kedua sisi wajah sahabatnya itu, “Jangan ulangi lagi, atau aku tidak akan mau berteman denganmu lagi.” Ancam Asahi yang langsung diangguki oleh Junkyu, “Maaf.”
Hyunsuk melirik ke arah jam tangannya lalu bangkit berdiri, “Sudah malam, kita berdua harus pulang.”
Junkyu langsung mengerucutkan bibirnya, “Kalian tidak mau menginap?”
“Tidak. Kita sekolah besok.” Asahi ikut bangkit berdiri lalu memakai mantelnya.
“Yep.” Timpal Hyunsuk.
“Tidak setia kawan.” Cibir Junkyu.
“Kita pergi ya.” Pamit Hyunsuk dan Asahi bersamaan.
“Ya.” Balas Junkyu ketus.
“Oh iya kyu,” Hyunsuk yang baru saja hendak membuka pintu kamar asrama Junkyu menoleh, “Tadi ketua asrama mencarimu, katanya ada siswa yang akan jadi roommate mu.”
Junkyu langsung melebarkan matanya mendengar perkataan Hyunsuk, “Serius hyung?!”
Hyunsuk menganggukkan kepalanya, “Iya.” Ucapnya lalu berjalan pergi.
Setelah kepergian Hyunsuk, Junkyu langsung menarik rambutnya frustasi. Bagaimana ini?? Dia belum membersihkan kamar asramanya ini!
Junkyu segera bangkit dari posisi duduknya lalu mulai merapihkan barang-barangnya.
“Astaga! Kamar ini seperti kapal pecah!” Dumal Junkyu saat ia menyadari bahwa kamarnya benar-benar kacau.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, Junkyu yang sedang menurunkan barang-barangnya dari ranjang atas langsung membeku. Apa itu roommate barunya? Bagaimana bisa secepat ini datangnya???!
Dengan langkah perlahan Junkyu berjalan mendekati pintu kamar asramanya. Jantungnya berdegup kencang karna gugup.
Junkyu membuka pintu asramanya, dan sedetik kemudian tubuhnya langsung mundur kebelakang beberapa langkah saat melihat sosok yang berdiri dihadapannya.
“Hah.. takdir macam apa ini?”
Tubuh Junkyu gemetar, wajahnya seketika berubah pucat pasi. Dihadapannya kini berdiri sosok yang telah menjadi mimpi buruknya. Sosok yang ingin hindari mati-matian.
“Pa-park Jihoon?”