Anak kecil berbaju biru langit itu berdiri di dekat pohon Peach yang ada di depan taman bermain. Matanya menatap cemas ke arah jalanan komplek yang sepi di depannya. Rupanya ada seorang anak kecil yang sedang berusaha menaiki sepeda yang ukurannya jauh lebih besar dari tubuhnya, “Jeongwoo-ya, sudah hentikan. Sepeda itu punya June hyung, kau bisa jatuh nanti.”

Anak yang yang di panggil Jeongwoo itu menghiraukan teriakan temannya, tubuh kecilnya terus berusaha menjaga keseimbangan diatas sepeda dan mengayuh pedal sepeda itu dengan susah payah, “Sedikit.... Lagi.... Junkyu hyung...”.

Junkyu memasang raut wajah cemas, melihat temannya itu terlihat begitu kesusahaan menaiki sepeda milik hyungnya.

“Ayolah! Jika kau jatuh nanti June hyung akan marah padaku karena merusak sepedanya. Kau bisa belajar sepeda menggunakan sepedaku-”

“AAA!”

“JEONGWOO!”

Terlambat. Jeongwoo sudah jatuh lebih dulu dengan sepeda besar milik June yang menimpa tubuh kecil bocah itu. Junkyu segera berlari menghampiri Jeongwoo.

“Hehehe! Kau lihat tadi? Aku bisa mengayuh sepeda sekarang!” Jeongwoo tiba-tiba bangun terduduk dan tersenyum lebar. “

Junkyu hanya bisa terdiam linglung, ia hampir mengira teman sepermainannya itu mati. Karena sungguh, ia melihat Jeongwoo tak bergerak setelah jatuh dari sepeda.

“Berdarah..”

“Eh, apanya?”

Junkyu menunjuk ke arah tangan Jeongwoo. “Jeongwoo-ya, kau berdarah. “

“Oh..” Jeongwoo melihat sikutnya juga kedua lengannya. “Tapi tidak sakit kok! Junkyu hyung jangan menangis”.

Jeongwoo mencoba berdiri dan kembali tersenyum.” Lihat! Aku bisa berdiri sendiri! Sudah ya? Jangan menangis Junkyu hyung.”

Junkyu mengusap-usap hidung dan kedua matanya, lalu mendirikan sepeda milik June yang tergeletak diatas jalan, “Ayo pulang.”

Jeongwoo tersenyum lebar lalu menganggukkan kepalanya, “Iya, ayo pulang!”


“Hei! kau bisa masak tidak? Kau hanya membuat Mie instan tapi lama sekali!”

Terdengar suara jengah Junkyu dari ruang tengah. Junkyu duduk diatas sofa seraya menatap layar laptopnya.

Hari ini ia dan Jeongwoo memutuskan untuk belajar bersama, dan kebetulan orang tua Junkyu sedang tidak ada dirumah. Jadi Junkyu yang kelaparan ingin memesan makanan sebenarnya, tapi Jeongwoo bersikeras ingin membuatkannya Mie Instan saja. Lebih irit katanya.

“Sebentar lagi Junkyu, tinggal kumasukkan sayuran keringnya – Dimana kau menaruh guntingnya? Plastik ini sangat sulit untuk dibuka.”

Junkyu hanya mendengus pelan. Ia sudah menyelesaikan satu bab dan Jeongwoo belum juga selesai memasak makanan yang harusnya hanya butuh 5 menit.

Junkyu menatap Jeongwoo dengan tatapan jengah, membuat Jeongwoo seketika meringis.

“O-okay, aku akan pakai pisau saja.”

Belum genap lima detik Junkyu memalingkan wajahnya terdengar jeritan menggelegar milik Jeongwoo dari arah dapur. Dengan cepat Junkyu bangkit berdiri dan berlari ke arah Jeongwoo.

“Hehe.. tadi tanganku tergelincir jadi jariku tergores kecil.” Ucap Jeongwoo dengan cengiran andalannya. Bohong. Tiga jarinya berdarah-darah seperti adegan pembunuhan.

Junkyu memijat kepalanya pening, “Hentikan dan obati lukamu. Aku akan pesan makanan saja.”

“Ey, hyung! Tanganku tidak apa-apa! Tidak sakit sama sekali! Ayolah, Mie-nya sebentar lagi juga selesai!”

Junkyu mengibaskan tangannya pelan, menghiraukan perkataan Jeongwoo dan mengambil ponselnya yang ada di saku bajunya, “Halo? Dengan Restoran janda Galak? Ya, aku pesan Jjampong satu dan-” Junkyu melirik Jeongwoo, “Kau mau Jjajang atau Jjampong?”

“Jjampong-EY! Tidak tidak! Lalu siapa yang memakan Mie ini?”

” Jjampong 2 porsi. Iya. Tunai pas. Terimakasi.” Junkyu memutuskan panggilannya.

“Ya Junkyu!”

“Apa aku harus menelpon 911 juga?”

“Yak! Sudah kubilang ini tidak sakit sama sekali!”

“Kalau begitu jangan berteriak kepalaku pusing!”


Jeongwoo berlari dari ruang klub basket ke ruang klub musik dengan tergesa-gesa. Baru saja temannya Junghwan memberitahu sesuatu tentang Junkyu. Entah apa beritanya yang jelas sekarang Jeongwoo seperti kesetanan mencari Junkyu ke seluruh penjuru sekolah.

“Junkyu!!! Kim Junkyu!!!.”

Akhirnya Jeongwoo menemukan Junkyu yang sedang berkutat dengan laptopnya dan kedua telinga yang tersumpal earphone wireless. Jeongwoo segera memutar Junkyu yang duduk diatas kursi beroda hingga menghadap ke arahnya. Dilepasnya juga earphone yang ada di telinga Junkyu.

“YAK! Kau ini kenapa sih?” Jelas saja kalau Junkyu kaget, apalagi ditambah dengan wajah Jeongwoo yang berkeringat dan menatapnya dengan ekspresi entah marah atau bingung Junkyu juga tidak tahu.

“Kau ..haah.. haah.. dengan Haruto, itu benar?”

“Kau bicara apa? Yang jelas kalau bertanya!”

“Kau jadian dengan Haruto si kapten Sepak Bola itu? Kemarin? Setelah pulang sekolah?”

“Kupikir iya.. semacam itu.” Jawab Junkyu masih dengan muka stoic-nya yang tenang.

Belum sempat otak Jeongwoo mencerna maksud kata-kata dari Junkyu, terdengar suara pintu yang terbuka. Terlebih lagi suara seseorang yang membuat keduanya kompak menatap ke arah pintu klub musik.

“Junkyu, apa kau sudah selesai? Hari ini aku tidak ada latihan. Mau pulang bersama?” Ternyata itu Haruto dengan kepala plus wajah tampannya yang menyembul dari balik pintu.

“Boleh. Tunggu sebentar.” Dengan cepat Junkyu menutup laptopnya dan mengambil earphonenya dari tangan Jeongwoo.

“Permisi Jeongwoo, Aku mau pulang duluan.” Ucap Junkyu sambil menatap Jeongwoo.

Jeongwoo mengepalkan tangannya erat sebelum memundurkan sedikit badannya, mempersilahkan Junkyu untuk mengambil laptop, earphone dan pergi meninggalkan Jeongwoo yang tertunduk dengan pintu klub yang tertutup.

“Aneh... Rasanya sakit, tapi tidak berdarah..”

/Fin/