Junkyu menyeka bulir keringat yang tak berhenti mengucur dari keningnya, wajahnya pucat pasi.

Dengan langkah gemetar Junkyu memasuki perusahaan Pillatepark yang luar biasa besar, meski masih kalah besar dari kantor perusahaannya.

Junkyu yang awalnya ingin berjalan ke resepsionis mendadak menghentikan langkahnya, “Ada yang salah.” Junkyu menangkup wajahnya sendiri gusar, “Tidak seharusnya aku disini.”

“Kau sudah berdiri disini, bocah idiot.”

Junkyu terlonjak kaget saat mendengar suara dengan nada mengejek tapi tajam dari arah belakangnya. Ia segera berbalik dan membelalakkan matanya lebar ketika melihat Park Jihoon, Presdir Pillatepark Corporation sudah berdiri dibelakangnya dengan dua orang yang Junkyu bisa tebak merupakan sekretaris dan juga tangan kanan lelaki beraroma citrus dan menthol itu.

“S-sir Jihoon.” Junkyu memundurkan tubuhnya lalu menundukkan sedikit badannya memberi salam.

Jihoon hanya menatap Junkyu datar, “Ayo ikut aku.” Jihoon berjalan mendahului Junkyu, dengan wajah panik Junkyu berjalan cepat mengikuti.

“Aku akan bicara penting dengan bocah ini. Pastikan jangan ada yang mengganggu.”

“Ya, Sir.”

Jihoon menolehkan kepalanya kearah Junkyu yang berdiri kaku, “Ayo masuk.”

Junkyu menganggukkan kepalanya patah-patah lalu berjalan masuk ke dalam ruangan yang bisa Junkyu ketahui merupakan ruangan pribadi Jihoon.

Aroma citrus dan menthol yang kuat langsung menyapa indera penciuman Junkyu sesaat setelah memasuki ruangan tersebut.

“Duduklah.” Jihoon menujuk ke arah sofa besar yang ada di ruangan itu, sedangkan dirinya sendiri duduk di kursinya.

Dengan gerakan takut-takut, Junkyu menjatuhkan bokongnya ke atas sofa. Pandangan waspada ia layangkan pada Jihoon yang kini tengah membaca resume miliknya.

“Kim Junkyu. Laki-laki, usia 23 tahun.” Jihoon membaca resume milik Junkyu dengan suara keras seakan-akan sengaja agar Junkyu bisa mendengarnya, “Benar-benar bocah.”

Junkyu menatap ke arah Jihoon dengan kerutan tak suka di wajahnya.

“Well.. seperti yang kau tahu, mulai hari ini kau bekerja di disini.”

“Iya, Sir. Tapi kalau boleh tahu, saya akan bekerja pada divisi apa?”

“Ingat apa yang Bos-mu katakan?” Jihoon memainkan pena yang ada ditangannya, matanya terus menatap ke arah yang lebih muda penuh minta.

“Mr. Jung berkata, saya akan berkerja langsung dibawah pengawasan Presdir Pillatepark.”

“Nah kau sudah tahu.”

Junkyu mengernyit tidak mengerti. “Jadi, Sir?”

“Kau akan bekerja langsung dibawahku, bukan dibawah kungkunganku, itu nanti. Dengan kata lain sekarang kau adalah asisten pribadiku.”

Jihoon menaikkan dagunya congkak lalu menatap kearah Junkyu yang kini tengah memasang raut wajah super kagetnya.

“A-apa?!”

“Selama kau bekerja di Pillatepark, aku akan memberi pelajaran kepada bocah tengik sepertimu.”

Jihoon mengambil telepon wireless yang ada di atas mejanya lalu menekan beberapa angka disana, “Somi, masuklah.”

Tidak sampai satu menit, masuklah sesosok gadis yang tadi Junkyu lihat datang bersama Jihoon. Gadis itu memakai setelan yang pas di tubuhnya dengan tatanan rambut cepol ala pramugari.

“Ada yang bisa saya bantu, Sir?”

“Berikan salinan jadwalku padanya.”

Junkyu masih dalam mode terkejut hanya bisa mengerjabkan matanya beberapa kali tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“Baik, Sir.”

Gadis bernama Somi itu membungkukkan tubuhnya lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan.

“Setelah kau mendapatkan jadwalku, pastikan kau pelajari dan amati baik-baik. Aku tidak suka keterlambatan.”

Melihat Junkyu yang hanya diam saja seraya menatap kearahnya dengan pandangan bertanya-tanya membuat Jihoon berdecih, “Kau mengerti tidak bocah?”

Junkyu memiringkan kepalanya sedikit lalu menggeleng, “T-tidak, Sir. Kenapa saya harus mempelajari jadwalmu?” Tanya Junkyu.

“Tentu saja karena kau akan ikut kemanapun aku pergi mulai sekarang.” Balas Jihoon enteng.

Junkyu seketika melotot selebar-lebarnya. Tunggu, ini tidak benar. Seharusnya dia hanya mengurus masalah kerjasama antara Pillatepark dan Artech. Kenapa sekarang malah menjadi asisten om-om Byuntae itu?!

“Tunggu!” Junkyu berdiri dan menatap Jihoon dengan tatapan protes, “Saya berada disini untuk mengurusi kerja sama antara Pillatepark dan Artech?”

“Yah, tentu. Itu juga pekerjaanmu. “

“Lalu apa maksudnya ini, Sir?” Pekik Junkyu.

Jihoon menghendikkan bahunya singkat, “Bukannya Bos-mu bilang kalau kau akan bekerja langsung dibawahku?”

Junkyu mengangguk.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

“JADI MAKSUDNYA SAYA MENJADI ASISTENMU, SIR?!”

“Ya. Benar sekali.” Jihoon bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri Junkyu.

Melihat Jihoon mendekat, alarm bahaya di kepala Junkyu langsung berbunyi nyaring. Dengan perlahan Junkyu memundurkan langkahnya setiap kali Jihoon memangkas jarak diantara mereka.

Junkyu terus mundur sampai tubuhnya membentur tembok.

“Ugh!”

Jihoon berhenti tepat beberapa inchi dari tubuh Junkyu. Dari jarak sedekat itu, Junkyu bisa melihat ketampanan Jihoon serta aroma menthol yang begitu dingin dan kuat.

Jihoon menatap kearah ID card yang menggantung di leher Junkyu.

“Kau tidak membutuhkan ini sementara waktu.” Jihoon melepas ID Card dari Junkyu dengan sekali tarik. Membuat mata Junkyu melebar.

“Sir!”

Degupan jantung Junkyu semakin menggila saat tubuh tegap Jihoon hampir menempel padanya.

“J-jangan!”

“Jangan?” Memasang wajah bosan, Jihoon mengelus pipi kanan Junkyu dengan gerakan lambat, “Memangnya apa yang akan aku lakukan padamu?”

“Tidak! Saya-”

“Apa, hm?”

Tangan Jihoon turun ke leher jenjang Junkyu, meraba pelan membuat bulu kuduk Junkyu meremang.

“Saya masih normal, Sir!”

Jihoon tidak bisa menahan tawanya saat mendengar perkataa Junkyu, “Well... kau kira aku tidak normal? Begitu?”

Tangan Jihoon kini bergerak melepas dasi yang bertengger manis pada Leher Junkyu, lalu melepas tiga kancing teratas.

Syok, tak berkutik. Mimpi buruknya akan terulang kembali.

Jihoon memajukan wajahnya lalu membenamkannya pada ceruk leher Junkyu.

Jilat, hisap, kulum. Junkyu hilang akal.

Tubuhnya lemas tapi gemetar seperti parutan kelapa.

“Akh! Hentikan, Sir!”

Junkyu mencoba mendorong Jihoon, tapi dibalas dengan gigitan kuat pada sisi tengkuknya.

Junkyu menjerit tertahan.

Jihoon mengangkat wajahnya, lalu berdecih melihat wajah Junkyu yang memerah dan penuh keringat. “Lihatlah bagaimana wajahmu sekarang bocah normal. Baru ku hisap lehermu, belum belalai gajah kecilmu yang kuhisap.” Ucap Jihoon dengan nada suara mencibir

Nafas Junkyu terengah, membuat yang lebih tua tersenyum sinis.

Jihoon mendekatkan wajahnya pada telinga Junkyu, menjilat pelan lalu berbisik, “Camkan, sekarang kau bukan karyawan Artech lagi. Tapi Pillatepark Corporation. Mengerti kau, bocah?”