Haruto berjalan dengan langkah ringan seraya bersiul riang disepanjang koridor sekolah. Suasana hatinya begitu luar biasa sampai orang-orang yang ia lewati seakan-akan dapat melihat bunga-bunga imajiner melayang-layang di sekelilingnya.

Junkyu akan mentraktirnya makan siang! Tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari itu yang pernah Haruto rasakan selama ia mengejar Junkyu.

Pasalnya, Junkyu yang biasa, akan marah dan mengumpatinya saat ia dekati tiba-tiba untuk mentraktirnya makan siang.

Walaupun sudah mengenal Junkyu dari kecil, dan tinggal di lingkungan yang sama, terkadang Haruto masih tidak bisa menebak apa yang lelaki manis itu pikirkan. Bahkan Haruto sempat berpikir jika Junkyu kerasukan setan sekolah karena berangkat terlalu pagi.

Haruto melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafetaria yang terlihat sudah mulai ramai oleh para murid yang hendak mengisi perut.

Haruto mengedarkan pandangannya kesepenjuru cafetaria. Senyumnya langsung merekah saat menemukan apa yang ia cari.

Dengan langkah panjang Haruto berjalan menghampiri Junkyu yang tengah duduk sambil meminum susu pisangnya.

“Oh, kau sudah datang.” Ucap Junkyu saat melihat Haruto sudah mendudukkan dirinya di hadapannya.

Haruto tidak bisa berhenti tersenyum. Melihat Junkyu dihadapannya benar-benar membuatnya bahagia.

“Aku sudah pesan makanan. Makanan kesukaanmu tidak ganti kan?”

“Tentu saja tidak. Aku kalau sudah suka tidak akan berpaling.” Balas Haruto sambil menatap Junkyu lamat.

Junkyu berdeham pelan lalu mengusap tengkuknya canggung, “Oh, oke.”

Tak selang beberapa lama makanan yang sudah Junkyu pesan tiba. Mereka berdua makan dengan sunyi.

Sebenarnya Haruto sudah gatal ingin mengajak Junkyu mengobrol. Tapi Haruto takut jika perkataannya bisa membuat mood Junkyu yang sedang bagus-bagusnya ini turun, jadi dirinya memilih diam saja.

“Aku dengar Noa kembali dari Amerika.” Junkyu membuka suara. Sebenarnya ia benci berada di situasi canggung seperti sekarang.

Haruto langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat, “Iya! Dia baru pulang kemarin malam.”

Junkyu menganggukkan kepalanya memgerti, “Bagaimana keadaannya?”

Haruto yang sedang asik mengunyah makanan miliknya menghendikkan bahu singkat, “Dia baik-baik saja. Tapi mentalnya tidak.”

Junkyu langsung memasang raut bingung mendengar perkataan Haruto tentang kakaknya, “Maksudmu bagaimana?”

“Setelah pulang dari Amerika, dia menjadi sok tampan. Padahal sudah jelas-jelas lebih tampan diriku. Makannya aku pikir mentalnya sakit.” Balas Haruto sambil tertawa.

Junkyu mendengus, “Kau itu yang sakit mental.”

Haruto tidak menanggapi perkataan Junkyu, ia malah merasa gemas melihat wajah cemberut milik Junkyu itu.

“Apa Noa sudah punya pacar?”

Tuk!

Haruto langsung meletakkan sumpitnya saat mendengar perkataan Junkyu, “Kenapa kau bertanya seperti itu?”

Junkyu meremas jari-jarinya dibawah meja dengan gelisah, apa ia harus mengatakannya pada Haruto?

“Karena aku ingin jadi kekasihnya.”

Haruto langsung menatap Junkyu dengan pandangan tidak percaya. Raut wajahnya tampak sangat terkejut.

“Aku rasa aku menyuakai Noa.” Junkyu memberanikan diri menatap mata Haruto yang bergetar karena berusaha menahan emosi.

Junkyu tahu ini pasti akan menyakitkan bagi Haruto, tapi Junkyu bisa apa? Walaupun ia harus mengarang cerita seperti ini, asal Haruto berhenti menyukainya maka bagi Junkyu itu tidak akan jadi masalah.

“Se-serius? Kau? Menyukai Noa?” Ucap Haruto tidak percaya.

Haruto menundukkan wajahnya lalu mengepalkan tangannya erat, “Sejak kapan?”

“Sejak lama.”

Haruto terkekeh pelan mendengar perkataan Junkyu, “Jadi kau terus-menerus menolakku karena Noa?”

“Iya.”

Haruto tertawa, membuat Junkyu gelisah.

“Apa ini alasan kau mentraktirku?” Haruto menatap Junkyu dengan pandangan terluka. Membuat Junkyu semakin merasa bersalah.

“Jika kau katakan sedari dulu jika kau menolakku karena menyukai hyungku, aku akan berhenti merecokimu.”

Haruto bangkit berdiri dari duduknya, “Aku pergi. Terimakasih makanannya.” Ucap Haruto lalu pergi meninggalkan cafetaria.

Junkyu mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa dirinya merasa tidak senang walaupun ia baru saja berhasil membuat Haruto berhenti merecokinya. Rasanya seperti ada batu besar yang langsung menghantam dadanya telak sehingga terasa sangat sesak saat melihat ekspresi Haruto yang sendu.

Junkyu menundukkan wajahnya lalu mengusap sebulir air mata yang yang jatuh di pipinya, “Maafkan aku. Maafkan aku, Haru “

.

.

.

Haruto melempar bola basket dengan kuat ke sembarang arah. Tubuhnya basah penuh keringat karena berlatih gila-gilaan sedari pulang sekolah. Membuat teman satu timnya merasa ngeri karena melihat Haruto yang terlihat seperti akan meledak kapan saja.

Haruto menjatuhkan tubuhnya terlentang ke lantai. Ia menutupi wajahnya dengan lengannya kemudian menggeram frustasi, “Arghhhh!!”

Rasanya tidak karuan. Otak, dan juga perasaannya.

Haruto melirik pada arloji yang melingkar di tangannya kemudian mendesah berat.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekatinya. Haruto menyingkirkan tangannya dari wajahnya lalu menoleh ke sumber suara.

“Kau tidak mau pulang?” Tanya Doyoung, teman satu tim Haruto.

“Kau sendiri tidak pulang?” Haruto balik bertanya.

“Aku menungguimu. Mana mungkin aku membiarkan orang yang patah hati bermain basket sendirian disekolah seperti orang kesetanan.”

Haruto langsung bangkit terduduk mendengar perkataan Doyoung, “Tahu darimana aku sedang patah hati?!”

Doyoung ikut mendudukkan dirinya lalu menghendikkan bahunya singkat, “Siapa yang tidak tahu? Seluruh penjuru sekolah juga tahu.”

Haruto memijat pelipisnya perlahan, “Mulut memang pembawa berita paling cepat.” Keluh Haruto.

Doyoung tertawa hingga matanya menyipit, “Kok bisa sih? Biasanya mau ditolak bagaimanapun kau tidak menyerah.”

Haruto mendesah pelan, “Masalahnya berbeda kali ini.”

Doyoung menaikkan sebelah alisnya, “Maksudmu?”

“Junkyu menyukai Noa.”

Doyoung langsung melotot mendengar perkataan Haruto, “Junkyu hyung menyukai hyungmu?! Woah plottwist!” Seru Doyoung heboh.

Haruto menarik-narik rambutnya frustasi, “Arghh! Bagaimana bisa aku terus menyukai Junkyu kalau ternyata yang Junkyu sukai adalah kakakku sendiri?!”

“Benar juga.” Gumam Doyoung menyetujui apa yang Haruto katakan. “Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau tidak mungkin menjauhinya bukan? Kalian kan bersahabat walaupun Junkyu hyung satu tahun di atas kita.”

“Itu dia yang membuatku frustasi. Aku tidak mungkin menjauhinya, tapi aku juga pasti akan tidak tahan jika melihatnya setelah mengetahui jika dia menyukai hyungku.”

Doyoung memegang kepalanya sendiri yang ikut berdenyut pening. Padahal bukan masalahnya, tapi dia ikut pusing.

“Kalau begitu kau harus move on.”

“Kalau bisa juga inginku seperti itu dari dulu.” Cibir Haruto.

“Ya kau harus benar-benar niat! Fokus pada basket jangan memikirkan Junkyu sama sekali.”

“Bagaimana bisa?!”

Doyoung menggeplak kepala Haruto dengan kuat, “Berhenti menemuinya untuk beberapa hari. Setelah perasaanmu mendingan, baru kau bisa berteman dengan Junkyu lagi.”

“Hm.. kau benar.” Gumam Haruto pelan. Yah, mau bagaimana lagi. Selama Junkyu senang apa boleh buat.

.

.

.

“Jadi begitu ceritanya.” Junkyu meminum jus wortelnya lalu menatap ke arah Rose yang ternyata tengah menatap ke arahnya juga pandangan bengis.

“Kau sudah kehilangan kewarasanmu?! Bagaimana bisa kau memperlakukan Haruto seperti itu!” Rose memukul kepala Junkyu dengan kuat. Membuat Junkyu mendelik kesal.

Setelah mendengar cerita Junkyu tentang bagaimana ia menolak Haruto disekolah, membuat Rose seketika pusing.

“Habisnya mau bagaimana lagi?!” Pekik Junkyu.

Rose memukul tengkuknya pelan. Adiknya itu memang sangat bodoh dan tidak peka.

“Maksudku, kenapa harus pakai alasan kau menyukai Noa segala? Katakan saja alasanmu sejujurnya!” Gemas Rose.

“Asal kau tahu, alasan seperti itu damage-nya lebih besar pada Haruto. Anak orang jadi gila gara-gara dirimu memangnya kau mau tanggung jawab? Tega sekali dirimu.” Lanjut Rose lalu menggelengkan kepalanya prihatin.

Junkyu menghembuskan napas kasar, “Kalau tidak begitu dia akan terus mengejarku.”

“Kenapa tidak kau terima saja Haruto?” Tanya Rose dengan raut wajah ingin tahu.

Dirinya penasaran, kenapa Junkyu tidak mau menerima perasaan Haruto. Padahal Haruto itu sangat keren dan tampan. Ditambah mereka juga teman sejak kecil. Bukannya akan lebih mudah jika Junkyu mau menerima Haruto?

Pacar dapat, sahabat aman. Mudah bukan?

Junkyu tampak memasang raut wajah berpikir, tapi sedetik kemudian lelaki manis itu menghendikkan bahunya singkat, “Aku tidak suka Haruto.”

Rose berdecih, “Lalu siapa yang kau suka hah?!”

“Tidak ada.”

Rose menatap Junkyu dengan pandangan tidak percaya, “Tak kusangka jika bocah bodoh ini adalah adikku.”

Ting! Tong!

Tiba-tiba terdengar suara bel pintu. Rose menendang-nendang kaki Junkyu pelan lalu memberi isyarat dengan matanya, “Buka sana.”

Junkyu mencebikkan bibirnya lalu bangkit berdiri kemudian berjalan kearah pintu.

Ceklek!

“Haruto?” Junkyu merasa rahangnya jatuh kebawah saat melihat Haruto berdiri tepat di hadapannya dengan wajah canggung.

“Hai Junkyu!” Junkyu tersentak kaget saat menyadari jika Haruto tidaklah sendirian. “Noa?”

Lelaki yang dipanggil Noa itu tersenyum lebar mengangkat bingkisan yang ada ditangannya, “Aku bawa oleh-oleh. Boleh masuk?”

Junkyu mengerjabkan matanya beberapa kali lalu menganggukkan kepalanya cepat, “Oh iya, ayo silahkan masuk.”

Junkyu melirik kearah Haruto yang berjalan melewatinya. Ekspresinya terlihat canggung tapi Junkyu rasa Haruto baik-baik saja.

“Siapa yang datang Kyu- uhukk!” Rose yang sedang menyedot jus-nya langsung tersedak saat melihat kedatangan Noa dan Haruto.

Baru saja dighibahin sudah muncul saja.

Rose melirik kearah Junkyu yang ternyata sedang menatap kearahnya seraya memasang raut wajah frustasi.

“Eh Noa! Sudah pulang!” Rose berdiri lalu memeluk Noa

“Iya Noona. Dimana paman dan bibi?”

“Oh! Mereka di taman belakang! Ayo noona antar kesana.” Rose segera menggaet tangan Noa untuk mengikutnya. Membuat Junkyu langsung mendelik karena meninggalakan dirinya berdua saja dengan Haruto.

Junkyu menggaruk pipinya yang tidak gatal lalu melirik kearah Haruto, “Hai ruto.” Sapa Junkyu.

Haruto tampak sedikit terkejut saat mendengar suara Junkyu, tapi sedetik kemudian ekspresinya kembali datar. “Kau pasti senang melihat Noa.”

“Ahh.. begitulah.” Balas Junkyu awkward.

Haruto menganggukkan kepalanya mengerti, “Boleh aku bertanya satu hal?”

Junkyu menganggukkan kepalanya mengiyakan, “Tanya saja.”

“Apa yang kau sukai dari Noa?”

Junkyu sedikit terkesiap mendengar pertanyaan Haruto yang sama sekali tidak ia prediksi. Junkyu berdeham pelan lalu berkata, “Sikapnya yang tenang, dia pintar dan juga terlihat sangat bebas. Dia melakukan apapun yang dia inginkan tanpa ragu.”

Haruto tertawa mendengar perkataan Junkyu. Jelas saja Junkyu tidak pernah meliriknya. Dirinya dan Noa benar-benar pribadi yang berbeda.

“Oke, aku mengerti.” Haruto menganggukkan kepalanya lalu hendak berjalan menyusul Noa dan Rose. Tapi baru saja ia hendak melangkah, Junkyu menahan tangannya.

“Haru! Tunggu!” Haruto menolehkan kepalanya dan menatap Junkyu dengan raut bingung.

Junkyu menggigit pipi dalamnya dengan kuat lalu memberanikan diri menatap ke arah mata Haruto, “Bisakah kita tetap berteman?”

Haruto terdiam sesaat lalu kemudian tersenyum tipis, “Entahlah. Aku tidak tahu akan mampu atau tidak.” Balas Haruto seraya melepaskan cekalan Junkyu pada tangannya.

“Aku tidak sekuat itu untuk bisa bersahabat lagi denganmu, Hyung.” Ucap Haruto lalu berjalan pergi meninggalkan Junkyu yang tak bisa bekata apa-apa.

.

.

.

Tbc