“Sejak jaman dahulu kala, sudah bukan sebuah rahasia lagi jika hubungan manusia dengan penyihir sangatlah tidak baik. Terlalu banyak rahasia yang mereka sembunyikan, saling mengadu domba, dan saling berusaha menjatuhkan satu sama lain.”
“Masing-masing kaum merasa paling superior. Mereka tidak ada yang mau mengalah, dan sangat egois.”
“Suati hari, manusia mulai merasa jika penyihir itu sangatlah berbahaya, dan dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Oleh sebab itu, banyak manusia yang berburu penyihir untuk dihabisi, dan dimusnahkan dari dunia tengah ini.”
“Para manusia menangkap semua orang yang mereka curigai sebagai penyihir. Mengarak mereka semua dengan biadab layaknya binatang, dan menyalibnya di depan khalayak ramai.”
“Para terduga penyihir ini dibakar hidup-hidup tanpa ampun, mereka-”
“Hentikan, aku muak mendengarnya.”
“Yak! Koo Junkyu Sudah kubilang jangan potong ceritaku!”
Junkyu hanya mendengus mendengar protesan jengkel dari sahabatnya itu, dia sudah berkali-kali mendengar dongeng tentang asal mula manusia dan penyihir yang menjadi musuh, dan dia sudah muak jika harus mendengarkannya lagi. Apalagi yang mendongeng adalah sosok Park Jihoon, penyihir muda gila yang selalu bersamanya sedari lahir.
“Aku belum selesai dengan ceritaku, kau harus mendengarnya sampai akhir!” Jihoon menatap Junkyu dengan kesal.
“Aku sudah tahu akhirnya, penyihir dibakar hidup-hidup kan? Tapi dasar manusianya saja yang bodoh. Memangnya mereka pikir penyihir tidak tahu mantra pendingin apa?” cibir Junkyu, “Tinggal mengucapkan saja mantra pendingin, lalu ber-akting kesakitan.” Lanjut Junkyu sambil memutar bola matanya malas.
“Sampai kapan pun, manusia itu bodoh. Hanya sifat jeleknya saja yang mereka punya dan banggakan.” Junkyu bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju lemari pakaiannya untuk mengambil jubah.
“Kau mau kemana?” Tanya Jihoon dengan raut wajah pernasaran.
“Aku mau menemui Asahi. Dia bilang dia akan pergi ke air terjun Verora. Lagipula aku bisa tambah bodoh jika bergaul denganmu terus.” Jawab Junkyu santai.
“Mulutmu itu ya, benar-benar sialan.” sungut Jihoon sambil mengikuti Junkyu bangkit dari ranjang, “Aku ikut, tidak mungkin aku tetap berada di sini saat yang mempunyai kamar pergi, apalagi mengintilimu itu menyenangkan.” Jihoon mengambil jubahnya yang tersampir di kursi dekat nakas.
Junkyu menatap Jihoon sembari menaikkan sebelah alisnya, “Memangnya aku mengizinkanmu untuk ikut?”
Jihoon mengibaskan tangannya pelan lalu berjalan mendekati Junkyu yang sudah berada di dekat pintu kamar, “Aku tidak butuh izin untuk mengintili seseorang. ” balasnya santai.
Junkyu memutar bola matanya jengah, “Ya, terserah kau saja. “
.
.
.
.
“YAKKK! KIM DOYOUNG!! Apa yang sedang kau lakukan?! Cepat ikat Troll itu! Tongkatku terlempar entah kemana!” Asahi berteriak kencang kepada Doyoung yang sedari tadi hanya bersembunyi dibalik pohon besar.
“Aku lupa membawa tongkatku hyung!!” Jawab Doyoung ikut berteriak.
“Arrghhh penyihir macam apa kau ini?!” hardik Asahi tidak habis pikir.
“Ya Tuhan! Dari mana datangnya Troll gunung sialan ini?!” geram Asahi kesal sambil terus menghindari serangan Troll yang mengayunkan batang pohon ke-arahnya.
“Kita akan mati hyung- YAAAA!! KENAPA KAU MELIHATKU?!” Doyoung berteriak heboh saat Troll gunung itu sudah menyadari tempat persembunyiannya.
Buagghh!!
Troll gunung tersebut mengayunkan batang pohon besar yang ada tangannya dan tepat mengenai tubuh Asahi saat hendak berlari ke arah Doyoung.
“Hyung!” teriak Doyoung histeris saat melihat tubuh Asahi melayang begitu saja setelah terkena pukulan batang pohon dari Troll gunung itu. Dia segera berlari mengahampiri tubuh Asahi yang sudah terkulai tidak berdaya sambil berurai air mata.
“Tidakk! Asahi hyung jangan mati!! Kita masih belum berhasil menyihir Jihoon hyung menjadi sepatu!” Doyoung menangis dan menggoyang-goyangkan tubuh Asahi yang sudah lemah tak berdaya.
“Tu-tup mulutmu, dan lakukan sesuatu sialan!” ucap Asahi tersengal, dadanya terasa sangat sakit karna terkena pukulan dari batang pohon yang luar biasa kerasnya tadi.
“Kau tidak mati?! Syukur-AHHHHHHHHHH TROLL GUNUNG SIALAN JANGAN KEMARI BODOHHH!!” Doyoung kembali berteriak heboh saat melihat troll gunung itu berjalan kearahnya dan Asahi dengan batang pohon yang dia ayun-ayunkan.
Sialan, haruskah mereka mati ditangan troll gunung?! Tidak adakah cara untuk mati yang lebih berkelas dari ini?! Batin Asahi.
“QUITERO!”
Asahi dan Doyoung yang sudah saling berpelukan sambil menutup erat kedua mata mereka mengernyit keheranan. Kenapa mereka berdua tidak merasakan sakit karna terkena pukulan batang pohon?
“Hey! Kalian berdua, mau sampai kapan akan berpelukan seperti anak gadis begitu?”
Asahi dan Doyoung refleks membuka kedua matanya saat mendengar suara seseorang yang tengah berkata dengan nada yang amat menyebalkan.
“Dasar anak gadis.” Cibir orang itu.
“Tutup mulutmu Park Jihoon, atau kau akan ku lempar ke sungai Argos!”
Jihoon hanya tergelak mendengar gertakan dari Asahi, “Melawan Troll saja sampai sekarat seperti ini, mimpi saja kau bisa melemparku ke sungai Argos.” Balas Jihoon sambil tersenyum mengejek.
“Salahkan Doyoung yang tidak membawa tongkat sihirnya!” Singut Asahi sambil menatap Doyoung dengan jengkel.
“Kita hanya ke air terjun, kupikir apa gunanya membawa tongkat sihir? Kau juga! Bagaimana bisa tongkat sihirmu terlempar begitu saja dari genggamanmu?!” Balas Doyoung balik menyalahkan Asahi.
Asahi mendelik tidak suka dengan perkataan Doyoung yang malah balik menyalahkan.
“Sudah-sudah, yang penting kalian masih hidup.” Sela Junkyu yang melihat Asahi sudah siap akan mengeluarkan kata-kata kasarnya.
“Untung saja kalian datang dan memberi mantra pembeku sebelum Troll gunung sialan itu memukul kami dengan batang pohon. Jika tidak, mungkin kami sudah ke nirwana sekarang. Tidak-tidak, aku belum menikah, aku ingin punya anak yang lucu-lucu, aku masih belum mau mati!” Cerocos Doyoung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat.
“Mana ada yang mau menikah dengan orang bodoh sepertimu?” ejek Jihoon.
Mata Doyoung berkedut tak suka mendengar ucapan Jihoon yang tengah mengejek dirinya, “Kau jangan cari gara-gara denganku ya hyung.”
“Aku tidak.”
“Kau iya!”
“Kalian berdua sama-sama bodoh, jangan saling bertengkar seperti itu.” sahut Asahi dengan santainya.
“Sialan. “
“Brengsek”
Umpat Jihoon dan Doyoung bersamaan.
.
.
.
.
“Yoon Jaehyuk sialan.” umpat Asahi seraya mengepalkan tanganya erat.
“Woah, aku tidak percaya tadi aku hampir saja mati ditangan Troll demi ke air terjun ini.” ucap Doyoung lirih, sepertinya bocah itu akan menangis.
“Jadi ini air terjun yang kau bilang sangat indah itu?” Junkyu menatap dengan jengkel ke arah Asahi.
“Mana aku tahu?! Jaehyuk benar-benar cari mati ya, dia bilang air terjun ini sangat indah!!”
Jihoon menatap miris air terjun di hadapannya, bayangannya tentang air terjun Verora adalah tempat yang indah, hijau, berair jernih, dan terdapat banyak bunga masolif yang indah. Tapi sayang sungguh sayang, yang terlihat sekarang hanya air terjun dengan air hitam dan batuan cadas tajam disekelilingnya, tak ada rumput hijau, apalagi bunga-bunya masolif yang indah.
“Buang-buang waktu” Junkyu berbalik pergi.
“Mengecewakan.” Ucap Jihoon lalu menyusul Junkyu yang sudah berjalan jauh didepannya.
“Jauh dari ekpetasiku.” Doyoung berbalik pergi tapi tangannya sudah di cekal oleh Asahi.
“Kau berjalan dibelakangku.” ucap Asahi lalu berjalan melewati Doyoung yang menganga menahan kesal.
“YAKK!!” pekik Doyoung.
Mereka ber-empat berjalan beriringan menembus hutan. Setelah mencari tongkat sihir Asahi yang terlempar, mereka memutuskan untuk mengunjungi Gon, penyihir penjaga yang tinggal di perbatasan wilayah manusia yang disebut dengan Hyti dan wilayah penyihir yang disebut dengan Atlanta.
Sejak saat pembataian penyihir (yang hanya acting para penyihir belaka) oleh manusia, manusia dan penyihir memutuskan untuk memisahkan diri. Tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Tidak saling mengusik, dan tidak saling menginjakan kaki diwilayah masing-masing. Dengan begitu kedua belah pihak bisa menghindari konflik yang mungkin saja bisa terjadi dan mengulang masa lalu.
“Kau yakin Gon hyung berada di pondoknya?” tanya Doyoung kepada ketiga hyung sekaligus sahabatnya.
“Tentu, kau pikir dia akan kemana? Dia kan tidak boleh meninggalkan perbatasan.” Balas Jihoon.
“Siapa yang tahu, dia kan suka melanggar peraturan.” Sahut Asahi sambil menghendikkan bahu.
Mereka berempat telah sampai di depan pondok Gon, tapi tidak terlihat adanya tanda-tanda penyihir penjaga perbatasan itu ada didalam pondok, “Gon hyung!!” Doyoung berteriak sambil menggedor-gedor pintu pondok.
“Hentikan bodoh! Sepertinya dia tidak ada didalam sana.”
“Kemana dia?” Junkyu memandang ke-sekeliling pondok, suasana disana sangat sepi dan sunyi.
“Apa mungkin Gon hyung diculik?” tebak Jihoon yang langsung di hadiahi dengan pukulan sayang dikepalanya dari Asahi.
“Mana mungkin bodoh!” ucap Asahi dengan nada jengkel.
“Tidak perlu memukul kepalaku juga!” Sewot Jihoon sambil mengusap-usap kepalanya yang terkena pukulan dari Asahi.
Srekkk!!
Junkyu sektika langsung menajamkan telinganya. Dia mendengar dan merasa ada sesuatu yang sedang bersembunyi dan mengintai mereka ber-empat. Junkyu mengeluarkan tongkat sihir dari dalam jubahnya dan mengambil ancang-ancang.
“Hyung, kenapa?” Tanya Doyoung heran saat melihat Junkyu yang sudah siap mengacungkan tongkat sihirnya sambil memandang sekeliling dengan tatapan menyelidik.
“Sahi, Jihoon, siapkan tongkat sihir kalian!” Perintah Junkyu kepada dua sahabatnya yang masih terus saja berdebat.
Sreekkk srekkk
“Kalian mendengarnya kan?” tanya Junkyu kepada ketiga sahabatnya yang langsung dibalas dengan anggukan.
“Tidak mungkin kan apa yang Jihoon hyung katakan benar terjadi.” ucap Asahi sambil menatap sekeliling dengan waspada.
“Kan! Sudah ku bilang Gon hyung diculik!!” Seru Jihoon dengan panik.
Doyoung langsung merapatkan badannya pada Asahi, membuat Asahi melotot tak suka, “Hyung.. aku takut.”
“Tutup mulutmu Hoon, apapun itu, aku mempunyai firasat yang tidak enak.”
.
.
.
.
.
Bodoh, itulah kata yang Haruto pikir pantas untuk disematkan kepada dua orang yang berada di depannya. Bagaimana mungkin kedua sepupunya itu mempunyai ide gila untuk menerobos masuk ke wilayah Atlanta?! Otak mereka sudah tidak berfungsi atau bagaimana sih?!
“Haruto, berhenti menatap kami berdua seperti itu! Kau pernah baca di buku rahasia Atlanta bukan? Katanya di sana ada air terjun yang luar biasa indah.”
Haruto mendelik marah mendengar ucapan dari sepupunya itu, melanggar peraturan hanya demi melihat air terjun?! Di Hyti juga banyak air terjun indah, kenapa harus ke Atlanta??!!
“Kalian tahu kan, menerobos masuk ke Atlanta itu dilarang?! Ayo kembali!” Haruto menarik kedua tangan sepupunya untuk segera berbalik pulang.
“Ayolah Ruto, hanya sebentar!” jawab Raesung sambil melepaskan tangannya yang di cekal oleh Haruto.
Haruto beralih menatap sepupunya yang lain “Noa, aku tahu kau taat peraturan bukan? Ayo kembali!”
Noa memamerkan cengiran bodohnya sambil menatap Haruto yang sedang melihatnya dengan tatapan tajam.
“Maaf Ruto, tapi aku juga penasaran dengan air terjun di Atlanta.”
Haruto memijit pelipisnya pelan, sepupu-sepupunya ini benar benar membuatnya sakit kepala, jika sudah begini Haurto tidak bisa berbuat apa-apa.
“Ruto kau ikut kan?” Tanya Raesung sambil memandang wajah sepupunya yang terlihat sangat frustasi dan jengkel tentu saja.
“Menurutmu?! Mana bisa aku membiarkan kalian berdua masuk ke Atlanta, kalian kan sangat ceroboh.”
Raesung dan Noa yang mendengar perkataan Haruto hanya mendengus kesal.
“Tapi, bagaimana jika Yang Mulia Raja tahu?” Haruto menatap kedua sepupunya dengan pandangan cemas, bisa bahaya jika Ayahnya tahu jika Putra Mahkota kerajaan Hyti menyelinap ke wilayah Atlanta.
“Ya jangan diberitahu.” jawab Raesung cepat, disusul dengan anggukan oleh Noa.
“Terserah kalian saja.”
“Jadi bagaimana caranya kita menyelinap masuk?. “
Haruto menatap heran kedua sepupunya yang hanya terdiam tidak menjawab pertanyaannya.
“Jangan bilang kalian berdua tidak mempunyai rencana untuk menyelinap masuk kesana?” Tanya Haruto sambil memicingkan matanya kesal.
“Kami baru akan memikirnya.” Jawab Raesung dengan cengiran bodoh yang terlihat amat sangat menyebalkan dimata Haruto.
“Kalian benar-benar minta dipukuli ya?” Geram Haruto kesal.
“Sudahlah, kita tinggal menerobos masuk saja kan?” Ucap Noa dengan santainya.
“Dasar bodoh, tinggal menerobos kepalamu! Kau pikir di perbatasan tidak ada penyihir yang menjaga apa?!” Sembur Haruto emosi.
“Diharapkan kepada Yang Mulia Putra Mahkota Kerajaan Hyti untuk tenang dan tidak marah-marah.” Ucap Raesung sambil tersenyum tampan mencoba menenangkan Haruto.
“Berhenti tersenyum seperti itu atau ku tonjok wajahmu!” Ancam Haruto sambil mengangkat kepalan tangannya.
“Hentikan-hentikan, mulailah berpikir bagaimana caranya agar kita bisa menyelinap masuk!” Ucap Noa menengahi perdebatan kedua sepupunya.
“Kan kalian yang ingin masuk, kenapa aku juga harus berpikir?! Kalian saja!!” Sahut Haruto dengan nada kesal.
“Kan?! Tadi aku bilang tinggal menerobos saja kau protes! Giliran disuruh berpikir kau malah marah-marah!” Sembur Noa jengkel.
Haruto menghela nafasnya, mencoba mengendalikan rasa kesalnya. Ingin sekali rasanya dia memukul kepala sepupu-sepupunya itu dengan sepatu besi milik Midam.
“Ah! Aku ingat. Seunghun pernah bilang, bahwa setiap matahari terbenam, penyihir penjaga perbatasan akan pergi ke sungai Argos. Nah, kita bisa menyelinap masuk saat penyihir penjaga itu pergi!”
Haruto mengernyit mendengar perkataan Raesung, begitu juga dengan Noa yang memandang Raesung dengan tatapan ragu.
“Kau yakin Rae?” Tanya Noa.
“Tentu saja!” Raesung menjawab dengan semangat.
“Oke, lalu bagaimana kita pulang? Tidak mungkin kan kita menyelinap masuk tapi tidak bisa menyelinap keluar?”
Raesung terdiam mendengar pertanyaan Haruto. Benar juga, bagaimana nanti cara mereka menyelinap keluar?
“Sudahlah, itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting kita masuk dulu!” Ucap Noa yang langsung dihadiahi delikan marah dari Raesung dan Haruto.
“Kita tidak boleh berlama-lama di dalam wilayah Atlanta!”
“Ahh kita terlalu banyak berdebat, jadi masuk atau tidak?! Matahari akan segera terbenam!”
“Baiklah, ayo kita masuk!”
“YAK!!” Haruto menarik keras kerah belakang jubah kedua sepupunya yang hendak melangkah memasuki hutan.
“Jangan bertindak bodoh seperti itu!” Seru Haruto jengkel.
“Kita tidak akan selesai jika hanya berdebat dan marah-marah!! Sudah ayo masuk!” Raesung menggandeng tangan Haruto untuk segera mengikutinya.
“Demi celana dalam Midam, kalian berdua akan mendapat masalah setelah kembali ke Istana.” Gumam Haruto kesal.
Mereka bertiga telah sampai di perbatasan, Haruto memandang ke-sekeliling. Aura wilayah Atlanta sangat dingin, berbanding terbalik dengan wilayah Hyti yang hangat.
“Dingin sekali.” Ucap Noa.
“Iya, padahal ini masih musim panas.” Timpal Raesung.
“Atlanta kan dataran dingin, mereka tidak pernah merasakan yang namanya musim panas bodoh.” Dengus Haruto.
Mereka bertiga telah memasuki wilayah Atlanta, benar kata Seunghun jika penyihir penjaga perbatasan akan pergi saat matahari terbenam.
“Sial, gelap sekali.” Raesung memandang sekelilingnya, hutan Atlanta sangatlah gelap, dingin, tidak ada cahaya sama sekali.
“Kalian yakin di tempat se-suram ini ada air terjun indah?” Tanya Haruto pada kedua sepupunya.
“Ntahlah, aku jadi tidak yakin.” Jawab Noa.
Raesung tidak mementingkan pertanyaan Haruto dan terus berjalan menembus hutan Atlanta
“Heh Rae! Kau mau kemana?!!” Haruto memanggil Raesung yang telah berjalan jauh di depannya dan Noa.
Raesung memicingkan matanya. Sepertinya dia melihat cahaya, seperti cahaya kecil yang lumayan terang.
“Dasar gila, mau kemana bocah itu.” Sungut Noa yang terus berjalan mengikuti Raesung dari belakang.
“Hey kalian berdua! Cepat kemari!” Raesung memanggil kedua sepupunya itu untuk mendekat kepadanya. Haruto dan Noa segera berjalan menghampiri Raesung yang tengah berada dibelakan pohon besar sambil mengintip ke arah depan.
“Kau lihat itu? Itu pasti pondok dari penyihir penjaga!” Raesung menunjuk sebuah pondok yang berada lumayan jauh dari tempat mereka bertiga bersembunyi.
“Cahaya apa itu?” Tanya Haruto saat melihat cahaya kecil melayang-layang di depan pondok.
“Kunang-kunang.” Jawab Noa.
“Mana ada kunang kunang seperti itu! Coba kita mendekat!” Raesung berjalan perlahan mencoba mendekati pondok tersebut, diikuti dengan Haruto dan Noa yang berjalan di belakangnya.
Raesung menghentikan langkahnya saat melihat ada empat pemuda di depan pondok penyihir penjaga.
“Sssttt, lihat! Didepan pondok ada empat orang, aku yakin mereka pasti penyihir!” Bisik Raesung kepada Haruto dan Noa yang ada dibelakangnya sambil mencengkram jubah Raesung dengan erat.
“Perasaanku tidak enak, ayo kembali sebelum mereka menyadari kehadiran kita!” Haruto menarik-narik jubah Raesung dan Noa mengajaknya untuk segera keluar dari wilayah Atlanta.
“Diam Ruto! Kita bisa ketahuan nanti!” Bentak Noa kepada Haruto. Sungguh Noa sudah melupakan status jika Haruto itu adalah Putra Mahkota kerajaan Hyti.
Haruto mendelik tidak terima dengan bentakan yang diberikan Noa kepadanya. Dasar tidak sopan.
“Kalian berdua jangan berisik!” Sungut Raesung kepada kedua sepupunya yang tidak bisa diam sedari tadi.
“Coba kita awasi mereka dari balik pohon yang disana.” Raesung menunjuk pohon besar yang berada di dekat pondok penyihir penjaga, terlihat lebih aman dan nyaman untuk mengintai.
“Perhatikan langkah kalian!”
Srekkkkk!
“Sial!” Umpat Raesung.
“Haruto!!! Sudah kubilang hati-hati!” Raesung memandang Haruto dengan tatapan kesal. Raesung mengalihkan pandangannya ke arah ke empat penyihir yang berada di depan pondok.
“Astaga! Salah satu dari mereka sudah menyadari keberadaan kita!”
Mereka bertiga menatap dengan ngeri ke arah pondok, dapat mereka lihat salah satu dari empat penyihir itu telah mengacungkan tongkatnya sambil memandang sekelilingnya dengan waspada
Srekk srekkk
“Kalian berdua jangan bergerak dulu!!” Bisik Raesung marah kepada kedua sepupunya yang tidak bisa diam.
“Shit!”
Mereka bertiga semakin panik saat melihat tiga dari empat penyihir itu sudah mengacungkan tongkatnya, bersiap untuk menghabisi siapapun mahluk yang mengusik, “Kita dalam masalah.” Ucap Haruto sambil menatap cemas kedua sepupunya.
.
.
.
.
.
Tbc