Junkyu meremat secarik kertas berwarna biru langit dengan mata berkaca-kaca. Dihadapannya seorang remaja lelaki berambut hitam ber-name tag Watanabe Haruto menatapnya dengan pandangan gusar.

“Hyung..”

Junkyu tersenyum tipis lalu membuang kertas itu ketanah begitu saja, “Aku memang menjijikan. Jihoon mana mungkin mau denganku? Iya kan?” Junkyu tersenyum, tapi air mata jatuh luruh dari mata bulatnya.

Haruto mencoba meraih tangan kakak sekaligus sahabatnya itu, tapi Junkyu mundur, “Terimakasih karena telah menolongku menyampaikan perasaanku, Haruto.”

Setelah mengatakan itu, Junkyu berbalik pergi. Membawa serta kepingan hatinya yang sudah hancur tidak berbentuk.

Hari ini, selain kehilangan cinta pertamanya, Junkyu juga kehilangan salah satu sahabatnya.

.

.

.

6 tahun kemudian..

Junkyu melangkahkan kakinya memasuki toko bunga miliknya, wajahnya yang awalnya dihiasi senyum cerah secerah matahari langsung berubah menjadi bengis ketika ia melihat keadaan tokonya yang hancur lebur. Terlihat dua orang pemuda tengah adu mulut dengan begitu sengitnya.

“Apa yang kalian berdua lakukan???!!!” Jeritan melenggar Junkyu langsung membuat keduanya terdiam. Wajah kedua pemuda itu yang semula terlihat sangat kesal seketika berubah menjadi panik.

Junkyu menatap tajam kedua pemuda dihadapannya, “Apa yang kalian lakukan??!” Pekik Junkyu keras, membuat kedua pemuda itu terlonjak kaget.

“Dia duluan bos!” Seru kedua pemuda itu bersamaan seraya menunjuk satu sama lain.

Mata bulat Junkyu semakin melotot, membuat kedua pemuda itu semakin mengkerut takut.

“Junghwan duluan bos!” Ucap salah satu dari pemuda itu. Sedangkan pemuda yang dipanggil Junghwan langsung mendelik tak terima, “Apa maksudmu?! Bukannya kau yang memulainya, Park Jeongwoo?!”

Pemuda bernama Jeongwoo itu langsung menggelengkan kepalanya cepat, “Aku hanya mengatakan agar kau merangkai bunga dengan cepat, karena sudah ditunggu oleh pelanggan! Tapi kau malah tiba-tiba memukulku dengan penggaris!” elak Jeongwoo.

Junghwan berdecak keras lalu kembali mengangkat tangannya seperti hendak melayangkan satu jitakan maut lagi diatas kepala Jeongwoo, “Kau baru mengatakan jika kita ada pesanan padaku pagi ini, tepat saat baru buka toko! Padahal kau menerima pesanan itu tadi malam! Lalu sekarang kau minta aku untuk cepat-cepat membuatnya??! Kalau tidak emosi berarti aku bukan manusia!” Jerit Junghwan semakin murka.

Junkyu menutup telinganya lalu mengetuk meja beberapa kali, “Oke, hentikan kalian berdua.” Sela Junkyu, “Pesanannya sudah siap?” Tanya Junkyu.

Junghwan mengangguk, lalu menunjuk sebuah buket bunga anyelir berwarna merah muda yang berada diatas meja, “Tinggal mengantarnya saja.”

“Biar aku saja yang antar.” Junkyu mengambil buket bunga itu lalu menutupinya dengan plastik transparant, “Kalian bereskan kekacauan ini selama aku mengantar pesanan.” Titah Junkyu yang langsung direspon dengan anggukan kepala oleh Junghwan dan Jeongwoo.

Junkyu mengeluarkan sepedanya lalu meletakkan buket bunga itu di keranjang. Junkyu menatap secarik kertas berisi alamat tempat bunga itu akan diantar. Tidak jauh, batin Junkyu.

Tanpa sadar matanya menatap buket bunga anyelir itu, kemudian tersenyum getir. Sekelebat ingatan masa lalu yang ingin Junkyu lupakan tiba-tiba terputar kembali seperti potongan film lama. Junkyu menggelengkan kepalanya pelan lalu segera memakai helm dan mengayuh sepedanya pergi.

.

.

.

“Bunganya belum sampai juga?” Ryujin berbisik gusar kepada salah satu bawahannya saat melihat bosnya tengah memandangi sebuah vas bunga kosong dengan tatapan yang sulit diartikan.

Pegawai itu mengangguk cemas, “Saya terpaksa memesankan bunga di tempat lain, karena toko bunga langganan pak presdir terbakar dua hari yang lalu.”

Ryujin hampir saja mengacak-acak rambutnya yang sudah ia tata dengan begitu indahnya setelah mendengar perkataan salah satu bawahannya. Ryujin melirik kearah bosnya yang tengah memasang ekspresi datar seraya memandangi vas bunga kosong itu.

Ryujin sudah bekerja sebagai sekretaris bosnya ini selama satu tahun. Dan dari hari pertamanya bekerja, Ryujin tidak pernah melihat vas bunga yang berada di meja bosnya itu kosong. Selalu ada bunga anyelir berwarna merah muda disana. Entah apa alasannya, tapi bosnya selalu mengganti bunga itu setiap 3 hari sekali dengan yang baru, dan tidak pernah membiarkan vas bunga itu kosong.

“Ryujin,”

Ryujin langsung meneggakkan kepalanya saat mendengar bosnya memanggil namanya, “Ya presdir?”

“Bunganya?”

Ryujin menengguk ludahnya kasar mendengar pertanyaan singkat, nan jelas yang bosnya itu lontarkan, “Bunganya masih di dalam perjalan pak presdir.” Balas Ryujin.

“Sudah terlambat 45 menit.”

Ryujin menganggukkan kepalanya kaku, “Maaf presdir.”

“Bukan salahmu, itu salah toko bunga itu. Apa aku hancurkan saja tokonya?”

Ryujin langsung mendelik mendengar perkataan bosnya dengan nada kelewat santai itu, begitu juga dengan pegawai yang ada disebelahnya.

“Sepertinya tidak perlu presdir.” Balas Ryujin.

Baru saja sang Presidir ingin membuka mulutnya, tiba-tiba pintu ruangan diketuk seseorang.

“Masuk.”

Pintu terbuka, sesosok wanita berpakaian formal membungkuk memberi hormat, “Pesanan bunganya datang.”

“Suruh dia masuk.”

Wanita itu menganggukkan kepalanya, lalu berbalik hendak mempersilahkan sang pengantar bunga itu masuk. Tapi tak selang beberapa lama, wanita itu kembali, “Maaf presdir, orang itu sudah pergi karena terburu-buru. Bunganya dia tinggalkan.”

Ryujin segera berjalan dan mengambil bunga itu, lalu menyuruh wanita dan bawahannya agar keluar dari ruangan.

Baru saja Ryujin ingin meletakkan bunga anyelir itu didalam vas bunga, terdengar bosnya berdecak pelan, membuat jantungnya berdetak tidak karuan saat merasa bosnya itu menatapnya dengan tajam.

“Bunganya tidak seperti biasa.”

Ryujin tersedak ludahnya, matanya menatap sang atasan dengan pandangan horor. Bagaimana mungkin dia tahu? Semua bunga anyelir bentuknya sama kan?

“Iya pak presdir. Bunga ini dipesan di toko lain, karena toko yang biasanya baru saja terkena musibah kebakaran.”

Sang presdir menganggukkan kepalanya mengerti, “Kembalikan bunga itu.”

Ryujin tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya. Matanya melotot, serta mulutnya terbuka lebar, “Kembalikan?”

“Aku selalu membeli bunga anyelir berwarna merah muda.” Ucap sang presdir.

Ryujin menatap bunga anyelir yang ada ditangannya, “Ta-tapi ini warna merah muda pak presdir..”

“Itu warna merah jambu.” Balas sang presdir, “Kembalikan bunga itu, dan minta mereka menggantinya dengan warna merah muda.”

Ryujin tersenyum pahit, “Baik pak presdir.”

.

.

.

Junkyu menatap seorang lelaki berjas rapi dihadapannya dengan pandangan tak habis pikir, “Ta-tapi ini warna merah muda.”

Lelaki itu tampak mengangguk menyetujui perkataan Junkyu tapi sedetik kemudian dirinya menggeleng dengan keras, “Pak presdir bilang itu warna merah jambu.”

Junkyu membuka mulutnya tak habis pikir, “Tapi ini warna merah muda-tunggu! Warna merah muda dan warna merah jambu apa bedanya??” Pekik Junkyu.

Lelaki berjas itu menganggukkan kepalanya, “Benar, apa bedanya?”

Junkyu menghembuskan napas panjang lalu melipat tangannya di depan dada, “Lalu bosmu ingin aku bagaimana?”

“Menggantinya dengan warna merah mud-”

“TAPI INI WARNA MERAH MUDA!” Kesabaran Junkyu yang hanya tinggal sejumput lagi akhirnya lenyap.

Lelaki berjas itu tampak mengkerut sedikit takut melihat Junkyu yang seperti akan meledak, “I-ini merah jambu.”

“Persetan!” Junkyu mengambil bunga anyelir itu, “Aku akan mengantarnya sendiri ke tempat bosmu!”

Lelaki berjas itu seketika panik melihat Junkyu berjalan keluar toko dengan kaki dihentakkan marah, “Ta-tapi bos meminta diganti dengan warna merah muda.”

“ITU MERAH MUDA!” Sahut Jeongwoo dan Junghwan yang ternyata menyaksikan perdebatan konyol perihal warna bunga itu sedari tadi bersamaan.

“Itu merah jambu!” Jerit lelaki berjas itu frustasi lalu segera berlari keluar menyusul Junkyu yang tentunya sudah menaiki sepedanya kembali ke perusahaan itu.

Junkyu berjalan dengan langkah panjang seraya menggenggam erat bunga anyelir ditangannya.

Ryujin yang baru saja hendak keluar untuk mengambil minuman gingseng untuk sang presdir langsung memundurkan tubuhnya saat seseorang menerobos paksa.

“Maaf tuan, anda tidak boleh masuk begitu saja!”

Ryujin mengerjabkan matanya beberapa kali terkejut, sedangkan sang presdir hanya terdiam membeku di tempat duduknya.

“Ada apa ini?” Tanya Ryujin tidak mengerti.

Junkyu menatap Ryujin tajam, “Apakah kau bos aneh yang meminta bunga anyelir warna merah muda ini?” Desis Junkyu sambil mengangkat bunga yang ada ditangannya.

Ryujin menggeleng cepat.

“Bukan kau? Lalu siapa?!” Tanya Junkyu tak sabar.

Ryujin melirik ke arah bosnya yang sedang duduk dengan wajah terkejut di kursinya.

Junkyu mengikuti arah pandang Ryujin, dan ketika matanya menatap kearah lelaki itu, pandangan Junkyu seketika mengabur. Dadanya berdenyut ngilu serta kepalanya mendadak terasa nyeri.

“Park Jihoon?”

.

.

.

Tbc