Junkyu kecil sedang duduk diatas ranjang seraya mencoret-coret buku gambar yang ada di pangkuannya. Ia menghela nafas berat saat melihat banyaknya alat penopang kehidupan yang kini terpasang di tubuhnya.

“Hidup yang indah.” Gumam Junkyu seraya melempar pandang ke arah luar jendela.

“Halo, Junkyu!”

Junkyu menoleh ke arah pintu, terlihat seorang perawat perempuan masuk seraya membawa sebuah nampan obat dan beberapa suntikan.

Junkyu menaikkan sebelah alisnya saat melihat ada seorang anak kecil yang Junkyu bisa tebak lebih muda darinya bersembunyi di balik tubuh perawat itu.

Sang perawat yang menyadari arah pandang Junkyu langsung mengulas senyum manis, wanita itu menaruh nampan yang ada di tangannya di atas meja nakas, “Dia putraku.” Ucap perawat itu, “Karena dirumah tidak ada yang menjaganya, maka dia sering bermain disini. Dia sangat baik, jadi tidak akan mengganggu.” Jelas perawat itu sambil mengusak sayang rambut sang anak.

Junkyu hanya menatap anak itu dengan pandangan datar, membuat anak itu mendelik. Junkyu mengulas senyum tipis, “Salam kenal. Namaku Junkyu.”

Anak itu tampak memundurkan tubuhnya dan semakin bersembunyi dibalik tubuh sang ibu. Junkyu semakin melebarkan senyumnya, bisa Junkyu pastikan anak itu takut kepadanya.

“Haru! Kau tidak mau memperkenalkan dirimu kepada Junkyu hyung?” Tegur sang perawat.

Anak kecil yang dipanggil Haru itu menganggukkan kepalanya lemah lalu berjalan beberapa langkah kedepan, “Namaku Haruto. Salam kenal.” Dengan mata berair menahan tangis anak itu memperkenalkan dirinya kepada Junkyu.

“Berapa usiamu?” Tanya Junkyu.

“5 tahun.” Balas Haruto setelah mencoba mengingat umurnya sendiri dengan cara berhitung dengan jarinya.

“Aku 8 tahun. Jadi kau harus memanggilku hyung.” Ujar Junkyu seraya tersenyum manis.

“Nah.. karena kalian sudah bekenalan sekarang Haruto bisa kau duduk disitu? Ibu harus memberikan obat kepada Junkyu hyung.”

Haruto segera menuruti perkataan sang ibu. Mata bulatnya menatap ke arah sang Ibu yang sedang menyuntikkan obat ke dalam infus Junkyu tanpa berkedip. Sesekali ia memejamkan matanya saat mendengar suara desisan Junkyu yang menahan linu karena suntikan yang disuntikkan ibunya.

“Nah sudah selesai!” Perawat itu mengusak rambut Junkyu pelan, “Istirahatlah, besok pagi orang tuamu bilang akan datang bukan?”

Junkyu menganggukkan kepalanya singkat lalu membaringkan tubuhnya.

“Ayo Haru, ibu sudah selesai. Waktunya Junkyu hyung untuk istirahat.” Ajak sang ibu.

Haru berjalan mendekati sang ibu yang sudah berada di dekat pintu. Sebelum ia melangkahkan kakinya, bocah kecil menolehkan kepalanya kebelakang. Terlihat Junkyu sedang memejamkan matanya seraya menahan sakit.

“Ayo Haru.” Ajak sang ibu lalu mereka berdua pergi meninggalkan ruangan Junkyu.

Setelah kepergian Haruto dan ibunya, Junkyu membuka mata. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar.

“Hidup kali ini benar-benar sialan.” Junkyu mengumpat pelan seraya menatap langit-langit.

Sebenarnya, Junkyu mempunyai sebuah rahasia. Normalnya, seseorang akan melupakan kehidupannya dimasa lalu, kehidupan di kehidupannya yang dulu.

Tapi tidak dengan Junkyu. Junkyu bisa mengingat dengan jelas seperti apa dan bagaimana kehidupannya di masa lalu. Setiap dirinya menginjak usia 3 tahun sekelebat ingatan tentang kehidupan-kehidupan terdahulunya menghangtam kepalanya dengan telak. Junkyu awalnya terkejut, tetapi setelah beberapa kali mengalaminya ia mulai terbiasa.

Junkyu ingat apa yang ia lakukan pada kehidupan pertamanya, keduanya, ketiganya sampai kehidupannya yang sekarang. Kehidupan ke-11nya.

Junkyu menghela napas panjang, dikehidupannya yang ke-9 ia ingat menjadi seorang konglomerat yang bahagia dan mati tua, lalu dikehidupan ke-10 dirinya merupakan seorang profesor yang sangat berilmu tinggi, kaya, dan juga mati tua. Tapi mengapa dikehidupannya kali ini ia menjadi bocah penyakitan yang bisa mati kapan saja? Sungguh sangat berbanding terbalik.

Bisa mengingat tentang kehidupan terdahulu bukanlah hal yang menyenangkan. Bahkan bisa dibilang hal itu benar-benar menyiksanya. Dirinya juga harus diingatkan dengan keluarga, teman, dan saudaranya dari masing-masing kehidupannya yang dulu.

Bahkan terkadang Junkyu masih mengingat anaknya dari kehidupannya yang ke-9, apakah dia sehat atau tidak? Bahagia atau tidak? Sejujurnya semua itu menyiksa Junkyu.

Tapi Junkyu mempunyai prinsip, ketika masa hidupnya di sebuah kehidupan telah usai, dan ia memulai hidupnya dikehidupannya yang baru, ia tidak akan pernah berurusan dengan orang-orang yang berkaitan dengan kehidupannya yang lama. Hal itu ia lakukan agar bisa menjalani kehidupannya dengan damai. Meskipun terkadang hal itu menyiksanya.

Junkyu menerawang ke luar jendela, menatap kilap lampu kota yang berkelap-kelip dengan begitu indahnya, “Semoga aku segera mati.” Gumam Junkyu pelan lalu menutup matanya.


“Junkyu, ibu harus pergi bekerja. Maaf karena tidak bisa menemanimu lebih lama.” Junkyu memejamkan matanya saat merasa surainya di usap dengan lembut oleh seorang wanita cantik.

Junkyu tersenyum lalu menganggukkan kepalanya, “Tidak apa-apa.”

Wanita cantik yang di ketahui merupakan ibu Junkyu itu memasang raut sedih, dia kembali menarik anak semata wayangnya itu ke dalam dekapannya, “Sungguh malang nasibmu, kenapa semua ini terjadi kepadamu?”

Junkyu tersenyum tipis saat merasa punggung sang ibu bergetar karena tangis. Mengingatkannya kepada Ibunya di kehidupannya yang ke-7, seorang wanita yang sangat cantik dan hangat yang rela mengorbankan hidupnya untuk Junkyu. Ah.. Junkyu jadi teringat kenangan lama.

“Aku baik-baik saja bu, kau pergilah.” Junkyu mencoba menampilkan senyum tercerahnya agar sang ibu berhenti merasa cemas.

“Baiklah.” Sang ibu bangkit berdiri, “Ibu dan Ayah akan kesini lagi besok. Jangan nakal dan dengarkan kata perawat ya.” Lanjut wanita itu.

Junkyu membuat gestur 'Ok' dengan jarinya, membuat senyum sang ibu langsung terulas manis, “Sampai Jumpa.”

“Sampai jumpa!”

Seperginya sang ibu, Junkyu langsung menghela napas kasar. Ekspresi cerahnya seketika langsung berubah menjadi kelam.

Baik-baik saja? Tentu saja Junkyu tidak akan baik-baik saja. Dia akan segera mati. Batin Junkyu prihatin.

“Apa bibi tadi ibumu?”

Junkyu yang sedang sibuk dengan pikirannya seketika terlonjak saat menyadari ada orang di samping ranjangnya. Refleks ia langsung menolehkan kepalanya, “Kau?”

Junkyu menaikkan sebelah alisnya saat melihat sesosok bocah laki-laki tengah berdiri seraya menatapnya dengan intens, “Oh! Haruto?”

“Apa bibi tadi itu ibumu?” Haruto mengulang pertanyaannya.

Junkyu menganggukkan kepalanya, “Iya. Dia Ibuku.”

“Apa kau berkata buruk kepadanya? Aku lihat dia keluar ruangan ini dan menangis.”

Junkyu memasang raut aneh mendengar pertanyaan Haruto. Sebenarnya apa maksud bocah 5 tahun itu?

“Tentu saja tidak.” Kilah Junkyu, “Kenapa kau berpikiran seperti itu? Apa aku terlihat seperti anak yang tidak baik?”

“Ya.” Sahut Haruto cepat. Membuat Junkyu tertawa kecil.

“Apa kau benar-benar berpikir aku seperti itu?”

Haruto menganggukkan kepalanya, “Ya.”

“Kenapa begitu?”

“Jika kau anak yang baik, kau tidak mungkin membuat ibumu menangis.” Ucap Haruto dengan wajah super seriusnya.

Junkyu yang melihat ekspresi dari bocah 5 tahun itu memekik gemas di dalam hati, “Aigoo.. kau lucu sekali.” Junkyu meraih kedua sisi wajah Haruto lalu tersenyum lebar.

Haruto membelalakkan matanya saat menerima perlakuan seperti itu dari Junkyu. Refleks bocah 5 tahun itu segera menepis tangan Junkyu yang menangkup wajahnya.

“Apa yang kau lakukan?!” Pekik Haruto dengan wajah yang dihiasi semburat merah.

Junkyu yang melihat itu semakin merasa geli, “Kau menggemaskan.”

Haruto semakin memelototkan matanya, “Si-siapa yang kau sebut menggemaskan?!”

“Kau.” Balas Junkyu lalu mengusap pelan kepala Haruto.

Haruto semakin memundurkan tubuhnya, “Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil!”

“Eh?” Junkyu memasang raut bingung, “Tapi bukannya kau memang anak kecil?”

“Uhh!” Haruto mengepalkan tangannya erat lalu segera berbalik pergi begitu saja dari ruangan Junkyu. Membuat Junkyu tertawa terbahak-bahak.

“Astaga! Lucu sekali ekspresi anak itu.” Junkyu mengusap air matanya karena terlalu banyak tertawa.

“Hahh.. senang rasanya bisa tertawa seperti ini.” Junkyu tersenyum tipis. Junkyu rasa, selama 8 tahun hidup dikehidupan ke-11nya, baru kali ini ia merasa bisa tertawa selepas ini.


Setelah kejadian hari itu, Haruto setiap hari datang berkunjung ke kamar rawat Junkyu. Meskipun mereka pasti akan berdebat dan berakhir dengan Haruto yang menangis, tapi karena hal itulah mereka berdua semakin dekat.

Haruto yang gemar sekali merajuk terlihat sangat menggemaskan dimata Junkyu. Sehingga membuatnya ingin terus menjahili bocah 5 tahun itu.

“Junkyu.” Panggil Haruto tanpa mengalihkan perhatiannya pada kertas putih yang sedang ia gambar.

“Hey, sudah beberapa kali aku bilang, panggil aku hyung. Aku lebih tua darimu 3 tahun.” Sahut Junkyu.

Haruto hanya menanggapi perkataan Junkyu dengan gumaman tidak jelas, membuat Junkyu memasang raut kesal, “Jika kau tidak mau memanggilku hyung, maka aku tidak mau berbicara denganmu.”

“Junkyu hyung.” Ulang Haruto nada malas.

Junkyu terkikik pelan, “Begitu lebih baik.”

Haruto bangkit berdiri lalu berjalan mendekati ranjang Junkyu, “Apa kau akan segera mati?”

Junkyu yang sedang meminum air putih seketika langsung tersedak. Junkyu memandang Haruto yang kini tengah menatapnya dengan sorot mata serius. Terkadang Junkyu merasa bingung dengan isi kepala bocah 5 tahun itu.

“Kenapa kau mengatakan hal itu?” Junkyu sebisa mungkin mengendalikan eskpresi wajahnya yang terkejut dengan cara mengulas senyum tipis.

“Aku dengar dari obrolan bibi-bibi perawat jika keadaanmu semakin hari semakin buruk. Dan..” Haruto menundukkan wajahnya, “...kau akan segera mati.”

Junkyu menatap Haruto dengan mata terbuka lebar. Entah kenapa perasaan terasa sesak melihat Haruto yang tertunduk seraya menahan tangis. Junkyu meraih tangan Haruto lalu menggengamnya, “Apa kau akan sedih jika aku pergi?”

Haruto mengangkat wajahnya lalu menganggukkan kepalanya dengan kuat, “Tentu saja!”

“Benarkah?” Junkyu mengusap pelan pipi Haruto seraya tersenyum lebar.

Haruto kembali menganggukkan kepalanya.

“Haru..” Junkyu meraih kedua sisi wajah Haruto agar bocah 5 tahun itu menatapnya, “Apa kau percaya dengan kehidupan selanjutnya?”

Haruto menatap Junkyu dengan pandangan tidak mengerti, Junkyu menghela nafas pelan. Seharusnya ia tahu bahwa topik seperti ini masih terlalu berat untuk anak usia 5 tahun meskipun Haruto tergolong cerdas.

“Intinya, meskipun nanti aku pergi, dikehidupan selanjutnya aku akan kembali menemuimu.”

Meski tidak paham sepenuhnya dengan ucapan Junkyu, melihat Junkyu tersenyum dan menatapnya dengan lembut membuat perasaan Haruto melunak, “Benarkah, kau janji?”

“Tentu saja!” Junkyu tersenyum semakin lebar, membuat Haruto yang menatapnya mau tidak mau terpana.

“Junkyu.. kalau begitu nanti kau harus menikah denganku.”

Junkyu seketika tergelak mendengar perkataan dari Haruto, apalagi ditambah dengan wajah bocah 5 tahun itu yang menyiratkan keseriusan, “Baiklah.”

Haruto menyodorkan jari kelingkingnya, “Kau harus berjanji. Seperti katamu tadi, meskipun kau pergi, dikehidupan selanjutnya kau harus menikah denganku.”

Junkyu tersenyum. Ia merasa perasaannya menghangat karena perkataan Haruto. Meskipun ia tahu ini konyol Junkyu tetap meng-iyakan-nya, “Janji.” Ucap Junkyu lalu melingkarkan jadi kelingkingnya dengan jari kelingking Haruto.


Haruto sedang berjalan menuju ruangan Junkyu seperti biasanya, dengan membawa sekantung penuh makanan ringan kedua sisi tangannya.

“Uh?” Haruto menghentikan langkahnya saat melihat beberapa perawat dan dokter berlari dengan begitu tergesa-gesa seraya memasang ekspresi panik.

Haruto menghendikkan bahunya acuh, lalu kembali berjalan menuju ruangan Junkyu. Tapi, tepat saat berada di ujung koridor ruangan Junkyu, Haurto melihat banyak orang berkumpul disana. Beberapa terlihat menundukkan wajahnya dalam. Suasananya sangatlah tidak enak dan Haruto dapat merasakan itu meskipun ia hanya melihat dari jauh.

Haruto mengerutkan keningnya bingung, lalu tiba-tiba bocah kecil itu terlonjak kaget saat pundaknya ditepuk seseorang. Refleks Haruto menoleh.

“Ibu?”

Ibu Haruto menyentuk kedua pundak sang anak erat, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mengalir dari keningnya. Sangat kontras dengan raut panik yang sedang sang ibu tampilkan.

“Apa kau ingin bertemu Junkyu?”

“Iya.”

Haruto semakin memasang raut wajah kebingungan, pasalnya ia dapat mendengar nada khawatir di pertanyaan sang ibu.

“Apa ada sesuatu yang terjadi?”

Sang ibu mengulas senyum tipis, air matanya mulai menggenang dipelupuk matanya, “Kau tidak bisa menemuinya lagi Haru..”

Haruto melebarkan matanya, melihat ibunya yang terlihat akan segera menangis, serta perkataan yang dilontarkan sang ibu, Haruto bisa tahu dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi.

Haruto memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Kantong yang ada di kedua tangannya terlepas jatuh, “Apa.. Junkyu hyung mati?” Air mata sang Ibu turun dengan deras, seakan mengiyakan pertanyaan Haruto.

Haruto menggelengkan kepalanya pelan, lalu segera berlari ke arah ruangan Junkyu.

Kepalanya terasa dihantam sesuatu dengan telak saat melihat tubuh Junkyu yang sudah tertupi oleh selimut putih sepenuhnya, serta orang tuanya yang kini tengah menangis meraung-raung meminta supaya Junkyu tidak pergi.

Haruto langsung jatuh terduduk, bocah 5 tahun itu merasa seperti sedang bermimpi. Baru kemarin Junkyu menjahilinya, menemaninya bermain, dan menjawab pertanyaan tidak penting yang ia lontarkan.

Apa Junkyu benar-benar pergi meninggalkannya?

Tanpa sadar Haruto menangis. Ia menangis dengan begitu sedihnya. Air matanya tidak mau berhenti mengalir, dadanya terasa sesak.

“Junkyu hyung..”

Haruto tidak mengerti yang terjadi, tidak mengerti kenapa Junkyu pergi secepat ini.

Tapi, Haruto bisa mengerti satu hal dengan jelas. Bahwa Junkyu tidak akan kembali lagi. Dan Haruto tahu, bahwa iya baru saja kehilangan orang yang sangat berarti dikehidupannya selain kedua orang tuanya.

Haruto, kehilangan mataharinya.


Haruto berjalan ke arah altar, meletakkan setangkai bunga krisan putih, lalu membungkukkan tubuhnya dalam. Disebelahnya sang Ibu juga melakukan hal yang sama. Memberi penghormatan terakhir untuk Junkyu.

Mata sembab bocah 5 tahun itu menatap sebuah foto yang ada dihadapannya dengan raut wajah sedih. Senyum cerah Junkyu yang ada di foto itu seakan membuatnya semakin tidak rela untuk mengikhlaskan kepergiannya.

Haruto dan Ibunya berjalan ke arah orang tau Junkyu, raut wajah mereka tampak sangat begitu kehilangan.

“Apa kau Haruto?”

Haruto mengernyitkan keningnya saat mendengar Ibu Junkyu memanggil namanya.

“I-iya.”

Ibu Junkyu tersenyum, lalu mengambil sebuah kotak yang ada disebelahnya kemudian menyodorkan kepada Haruto.

Haruto mengalihkan pandangannya pada sang ibu, seakan mengerti maksud sang anak, ibu Haruto tersenyum, “Ambilah.”

Haruto menganggukkan kepalanya lalu mengambil kotak yang ada di tangan Ibu Junkyu.

“Junkyu menitipkan ini kepadaku, dan memintanya untuk memberikannya kepadamu di malam sebelum ia pergi.” Suara Ibu Junkyu bergetar, air mata kembali mengalir dari pelupuk matanya.

“Dia bilang kalau kau adalah temannya yang berharga. Jadi dia ingin memberikan sesuatu sebelum dia pergi.” Ibu Junkyu menundukkan wajahnya, “Seakan dia tahu bahwa waktunya sudah tidak banyak.”

Haruto merasa matanya memanas, lain halnya dengan sang Ibu yang sudah menangis lebih dulu dan membuat ibu Haruto harus keluar dari ruangan itu karna tidak kuat menahan tangis.

Ibu Junkyu menatap kearah altar, “Aku seharusnya bahagia Junkyu sudah tidak merasakan sakit lagi. Tapi aku tidak bisa menghentikan perasaan sesak yang ada di dadaku.”

Air mata Haruto mulai mengalir, ia menggenggam tangan Ibu Junkyu erat, “A-aku juga bibi. Rasanya sangat sakit disini.” Haruto menyentuh dadanya.

“Perempuan yang kehilangan suaminya adalah seorang janda. Lelaki yang kehilangan istrinya adalah seorang duda. Anak yang kehilangan orang tuanya adalah seorang yatim piatu. Tapi, apa aku tahu kenapa tidak ada sebutan untuk seorang ibu yang kehilangan anaknya? Itu karena tidak ada kata yang bisa menggambarkan sesakit apa rasanya.” Ibu Junkyu mengusap air matanya lalu mencoba tersenyum.

“Tapi meskipun sakit, kita harus bisa menahannya.”

Haruto menganggukkan kepalanya mengerti, “Iya bibi.”

Ibu Junkyu merengkuh Haruto ke dalam pelukannya lalu berbisik pelan, “Terimakasih sudah mau menjadi teman Junkyu. Terimakasih banyak.”

Haruto membalas pelukan ibu Junkyu, ia memejamkan matanya erat. Setelah ia mendengar perkataan Ibu Junkyu, ia sadar. Bahwa bukan hanya dia yang merasa sesak dan sedih. Bukan hanya dia yang kehilangan matahari.


Tbc